Selasa, 31 Maret 2015

PHD 04/2015 JAN FEB MRT 2015



Saya telah merenungkan kisah anak yang hilang. Ini adalah suatu kisah tentang perjalanan kembali (pertobatan). Saya menyadari betapa pentingnya untuk kembali – bertobat -- lagi dan lagi. Hidup saya berpaling jauh dari Tuhan; saya harus kembali. Hati saya menjauh dari cinta pertama saya; saya harus kembali. Pikiran saya melayang-layang; saya harus kembali. Perjalanan kembali – pertobatan -- adalah perjuangan seumur hidup… Kasih Tuhan tidak membutuhkan penjelasan apapun tentang mengapa kita kembali / bertobat. Bapa senang melihat kita pulang dan ingin memberikan segala yang kita inginkan, hanya dengan kembali kepada-Nya… oleh sebab itu, mengapa kita tunda? Bapa berdiri di sana dengan tangan terbuka, menunggu untuk memeluk saya. Dia tak akan bertanya tentang masa lalu saya.. Memiliki saya kembali adalah satu-satunya yang Ia inginkan.         --  Henry  Nouwen --


Padre Pio – Seorang Pembimbing Jiwa-Jiwa

Ketenaran Padre Pio sebagai seorang Bapa pengakuan mengundang banyak peziarah mengunjungi biara Our Lady of Grace di San Giovanni Rotondo. Seiring dengan jumlah pengunjung yang semakin lama semakin membludak, Padre Pio juga menjadi semakin tak terjamah bagi para peziarah. Di luar bilik pengakuan, hampir mustahil untuk dapat berbicara  dengan Padre Pio. Suatu ketika, seorang putri spiritualnya mengeluhkan sedikitnya waktu baginya dalam bilik pengakuan. Padre Pio berkata kepadanya, “Saya telah berbicara kepadamu selama bertahun-tahun. Sekarang saya memintamu untuk mempraktekkan hal-hal yang telah saya katakan kepadamu.”

Sebagai seorang Bapa pengakuan, Padre Pio ingin agar orang-orang mengerti betapa seriusnya dosa itu. “Kita patutnya lebih takut akan dosa daripada akan api,” kata Padre Pio suatu ketika. Dalam kesempatan lain, beliau berkata, “Berhati-hatilah akan dosa, karena dosa itu beracun seperti  ular berbisa.” Ketika para pengaku dosa menanyakan kepada Padre Pio tentang isu moral, beliau tanpa ragu-ragu menjawab; perbedaan antara apa yang benar dan yang salah, juga apa yang harusnya dijadikan panutan. Seseorang berkata, “Kata-kata Padre Pio begitu tegas, apa adanya, dan murni.” Seorang pemuda pernah mengaku kepada Padre Pio bahwa ia pernah memiliki pikiran cabul. “Berapa kali engkau telah memiliki pemikiran tersebut?” tanya Padre Pio. “Enam atau tujuh kali,” jawab pemuda itu. “Namun tujuh tidak sama dengan enam, karena tujuh berarti satu lagi dosa pokok,” ujar Padre Pio.

Padre Pio memiliki ketakutan besar akan amarah Tuhan dan siap untuk melakukan apapun demi menghindari hal tersebut. Beliau tidak memiliki persepsi berbeda akan kodrat manusia, katanya, “Selama masih tersisa setetes darah dalam tubuh kita, akan selalu ada perjuangan antara benar dan salah.” Melihat kembali perjalanan hidupnya, beliau berkata, “Godaan yang mengancam hidup sekuler saya adalah yang paling membuat saya gundah… Godaan-godaan tersebut membuat saya berkeringat dingin dan gemetar… Dalam saat seperti itu, yang dapat saya lakukan hanya menangis.”

Di tahun 1915, Padre Pio menulis kepada Pastor Agostino, bunyinya:
Pikiran-pikiran sesat dan… mengkhianati Tuhan, menteror saya, melumpuhkan sekujur tubuh saya, baik tubuh maupun jiwa saya serasa dicengkeram oleh catok yang kuat. Tulang-tulang saya terasa berpindah dari tempatnya..hancur dan remuk..

Pendapat umum pada masa itu adalah bahwa jika kita melakukan pengakuan dosa kepada Padre Pio, kita akan mendapatkan manfaat rohani yang mendalam. Walaupun begitu, untuk dapat mengaku dosa kepada Padre Pio bukanlah hal yang mudah. Seperti seseorang mendeskripsikannya,” Untuk mengaku dosa kepada Padre Pio itu adalah membiarkan beliau masuk dan melihat isi hatimu.” Sebagai penerima pengakuan, Padre Pio sangat tegas. Beliau memiliki kekuatan moral besar dalam menuntun jiwa-jiwa dan tidak ragu-ragu memberitahu para peniten apa yang harus mereka lakukan untuk mengubah hidup mereka. Seringkali, beliau memberitahu mereka hal yang tidak ingin mereka dengar. Beliau memiliki karakter yang kuat dan tidak takut kepada siapapun. Banyak orang ingin melakukan pengakuan dosa terhadap Padreo Pio namun batal karena ketakutan mereka. Seseorang berkata, “Lebih tidak menakutkan mengikuti ujian masuk universitas dibandingkan harus melakukan pengakuan dosa kepada Padre Pio.”

Dalam bilik pengakuan, Padre Pio tak mau orang membuat alasan atas dosa dan kesalahan mereka. Seorang wanita dari Gioia del Colle, Italia mengunjungi Padre Pio pada suatu kesempatan. Dalam pengakuannya, wanita itu  berkata bahwa ia tidak menghadiri Misa Minggu kemarin karena hujan. “Ya, namun ketika kamu pergi ke San Giovanni Rotondo, bukankah sedang hujan juga? Tidak seharusnya engkau tidak hadir pada Misa hari Minggu lagi kecuali terhalang oleh penyakit yang benar-benar parah,” ucap Padre Pio.

Seorang ateis suatu ketika dikenalkan pada Padre Pio dan kunjungan itu menghasilkan pertobatan pria tersebut. Pria itu berkata, “Saya pergi mengunjungi Padre Pio ketika saya memiliki ribuan alasan untuk tidak percaya akan adanya Tuhan. Dengan kelembutan yang teramat sangat, sedikit demi sedikit, beliau mengembalikan kepercayaan saya dan menuntun saya pada stabilitas moral yang sebelumnya kurang saya miliki.”

Padre Pio menekankan betapa pentingnya sakramen Tobat  / pengakuan dosa. Beliau berkata, “Bahkan ketika sebuah ruangan ditutup sepenuhnya, debu tetap dapat muncul dalam ruangan tersebut.” Padre Pio mempraktekkan apa yang beliau anjurkan kepada orang-orang. Beliau sering melakukan pengakuan dosa, dan sebelum memulai, beliau berdoa secara mendalam dan mohon perantaraan Perawan Maria. Beliau selalu merasakan penyesalan yang mendalam akan dosa-dosanya dan seringkali menangis saat melakukan pengakuan. Kepada Pastor Benedetto, yang menjadi pembimbing spiritualnya selama dua belas tahun, Padre Pio menuliskan, “Saya mencari perubahan dalam hidup saya, kebangkitan rohani, cinta yang murni dan sejati, pertobatan, dan berbalik sungguh-sungguh kepadaNya.”

Livio Dimatteo bertemu dengan Padre Pio pada 1959. Dalam suatu kesempatan, Livio mengalami godaan besar yang ia yakin berasal dari setan. Karenanya, ia takut melakukan pengakuan dosa kepada Padre Pio. Ketika akhirnya Livio berhasil mengumpulkan keberanian dan masuk ke bilik pengakuan, Padre Pio meletakkan tangannya pada kepala Livio, lebih kuat dari biasanya. Livio yakin Padre Pio tahu akan semua godaannya dan akan membantunya lewat doa-doa.

Seorang pria yang pada mulanya telah ditolak pengakuannya oleh Padre Pio mengatakan bahwa Padre Pio adalah satu-satunya orang yang dapat membantunya melepaskan diri dari gaya hidup yang merusak. “Terima kasih kepada Padre Pio, saya dapat mengerti beratnya dosa saya,” kata pria tersebut. Sebelumnya, pria ini menilai sendiri tindakan-tindakan tak bermoral-nya dan tidak memiliki keinginan untuk berubah. Orang-orang di sekitarnya mencoba untuk menunjukkan kesalahan pada jalan hidupnya, namun pria ini tak pernah mendengarkannya. Terkejut akan penolakan pemberian abosolusi / pengampunan dari Padre Pio, menyebabkan dia merenungkan hidupnya. Dia membuat pemeriksaan batin yang baik dan kemudian membuat pengakuan yang tulus dan menerima absolusi / pengampunan .

Ketika Mariella Loti dari Consenza yang berusia dua belas tahun mendekati bilik pengakuan Padre Pio, terdengar suara beliau, “Jika saya mendengarkan pengakuanmu sekarang, tidak akan bermanfaat bagimu.  Engkau belum siap untuk melakukan pengakuan saat ini,” kata Padre Pio. Mariella, juga kedua orang tuanya merasa tersinggung. Namun ketika Padre Pio menjelaskan lebih lanjut, mereka langsung setuju. Hal ini terbukti menjadi titik balik dalam kehidupan Mariella muda.
Seorang wanita lain ingin melakukan pengakuan kepada Padre Pio namun tidak bersedia membuat perubahan yang diperlukan dalam hidupnya. Padre Pio berbicara tentang dirinya dan berkata, "Dia seperti batubara. Ketika terkena, itu adalah noda. Ketika menyala, ia membakar. "

Padre Pio terus-menerus berdoa untuk keselamatan jiwa semua orang. Kepada seorang wanita yang sangat membutuhkan bantuan besar, beliau berkata, “Yakinlah bahwa aku akan berdoa untuk Anda. Bahkan setelah kematian saya, saya akan mengingat Anda dalam doa-doa saya.” Kepada yang lain beliau berkata, “Engkau harus memahami tanggung jawabku di hadapan Yesus untukmu. Jika sesuatu yang buruk terjadi padamu, yang merugikan jiwamu, Yesus akan langsung meminta pertanggungjawaban dariku.” Kepada seorang wanita yang menanyakan seberapa sering ia bisa menulis kepadanya, Padre Pio menjawab,”Engkau dapat menulis kepadaku sesering yang kauinginkan. Dalam diriku engkau akan selalu menemukan sosok seorang ayah.”

Antonio Monari memiliki pengalaman yang luar biasa ketika ia pertama kali memasuki bilik pengakuan Padre Pio. Antonio berkata:
Saya mengharapkan bertemu dengan seorang kudus namun saya tak pernah membayangkan saya akan mengalami hal ini. Saya menceritakan pada Padre Pio masalah saya dan keluarga saya dan beliau mendengarkan dengan kebapakan. Saya meminta kepadanya berkat yang telah saya tunggu-tunggu selama bertahun-tahun. “Manusia tak dapat melakukan apa-apa, anakku,” ucap Padre Pio sambil menunjuk ke atas. “Hanya Tuhan di atas yang dapat menolong kita. Saya akan mendoakanmu,” tambahnya. Beliau kemudian memberkati saya. Saya tak dapat menjelaskan emosi mendalam yang saya alami begitu rupa, sehingga ketika berdiri, saya kehilangan keseimbangan. Beliau menyentuh bagian kanan kepala saya dengan lembut. Telinga kanan saya yang tuli tiba-tiba terbuka dan sejak saat itu saya dapat mendengar dengan sempurna.

Dalam bilik pengakuan, banyak orang minta saran Padre Pio mengenai masalah keluarga, panggilan hidup, pilihan bisnis, kesehatan, bahkan saran tentang pertanian. Beliau senang jika bisa membantu semua orang, namun di atas semuanya, keinginan mendalam beliau adalah membantu orang dalam tingkat rohani. Padre Pio ingin orang-orang menyadari kebutuhan mereka akan Tuhan. Profesor Michael Melillo, salah seorang putra spiritual Padre Pio, berkata kepadanya, “Bapa, tolong beri saya saran spiritual yang  dapat saya gunakan sepanjang hidup saya.” Padre Pio menjawab, “Engkau dilahirkan untuk mengenal, mencintai, dan melayani Tuhan, dan untuk berbahagia kekal bersama-Nya di surga.”

Pastor Ruggero, Imam Kapusin, memperhatikan bahwa banyak peziarah yang menyapa Padre Pio memberikan surat yang berisi intensi doa mereka. Kelihatannya mustahil bagi Padre Pio untuk membaca semua surat itu. Pastor Ruggero heran bagaimana Padre Pio memiliki waktu untuk mendoakan begitu banyak orang. Suatu hari ia bertanya pada Padre Pio tentang hal itu. Beliau menyentuh dadanya dan berkata, “Di sinilah mereka semua berada. Mereka semua berada di dalam hatiku.”

Padre Pio bersikeras bahwa orang-orang harus berpakaian sopan ketika memasuki gereja untuk menghadiri Misa atau membuat pengakuan. Bagi banyak orang, standar Padre Pio akan kesopanan dianggap terlalu berlebihan. Seorang pastor, yang mengetahui standar tinggi Padre Pio, memberitahu bahwa beliau tak dapat memaksakan aturan berpakaian sopan karena ditakutkan umat akan marah dan keluar. Kepadanya, Padre Pio menjawab, “Sebuah gereja yang kosong lebih baik daripada melanggar kekudusan.”

Ada seorang wanita dari Jerman yang mengaku dosa pada Padre Pio. Wanita ini fasih berbahasa Italia dan berencana membuat pengakuan dalam bahasa Italia. Sebelum ia sempat mengucapkan sepatah kata pun, Padre Pio berkata padanya dalam bahasa Jerman. Wanita ini mendengar aksen Padre Pio begitu sempurna; ia lalu berbicara dengan bahasa Jerman pula. Pada kesempatan lain, ia bertemu dengan Padre Pio dan menyapa beliau dalam bahasa Jerman. Padre Pio tidak mengatakan apa apa. Akhirnya wanita ini berbicara dalam bahasa Italia, “Padre Pio, Anda berbahasa Jerman begitu fasih denganku di bilik pengakuan. Mengapa Anda tidak melakukannya sekarang?” “Oh, pengakuan adalah hal yang  sungguh berbeda,” jawab Padre Pio.

Kesetiaan Padre Pio terhadap pelayanan imamatnya sebagai Bapa pengakuan dibuktikannya kepada Dr. Filippo Pancaro dalam sebuah kesempatan. Dr. Pancaro, staf dokter di RS Casa Solievo - Rumah untuk Meringankan Penderitaan- suatu ketika memeriksa Padre Pio. Di samping mengalami demam tinggi, Padre Pio juga menderita pusing, badan lemah, dan bunyi berdenging di kedua telinganya. Padre Pio mengalami kelelahan sedemikian parah sehingga hampir tak dapat berdiri. Dr. Pancaro memberitahu Padre Pio bahwa beliau membutuhkan istirahat  agar pulih kembali dan berhenti mendengarkan pengakuan untuk sementara.

Padre Pio sangat kecewa mendengar nasihat dokter itu. “Jika itu adalah perintah, saya akan lakukan,” ucapnya. “Tapi anya jika itu adalah perintah. Saya tidak ingin berhenti mendengarkan pengakuan.” Padre Pio lalu memohon doa sang dokter. “Saya mohon anda mendoakan saya pada Perawan Maria. Mohon agar kesehatan saya dipulihkan.” Dr. Pancaro meyakinkan beliau bahwa ia akan melakukannya. Padre Pio mengatakan pada dokter bahwa jika ia punya pilihan antara kehilangan penglihatan atau kehilangan pendengaran, ia akan lebih memilih untuk kehilangan penglihatan; “Selama saya memiliki pendengaran, saya akan selalu mampu mendengarkan pengakuan,” ucapnya. Suatu ketika beliau juga berkata kepada Pastor Agostino bahwa ia akan memilih dibawa dengan kursi roda ke bilik pengakuan dibandingkan harus berhenti mendengarkan pengakuan dosa.

Beberapa jam sebelum beliau berpulang, Padre Pio bertanya kepada seorang pastor yang menjaganya; Pastor Pellegrino Funicelli, untuk mendengarkan pengakuannya. Setelah selesai, beliau berkata kepada Pastor Pellegrino, “Mintalah kepada semua saudara saya untuk memaafkan kesalahan yang telah saya lakukan . Jika Tuhan memanggil saya malam ini, tolong mintakan kepada semua putra-putri spiritual saya untuk mendoakan jiwa saya.”

---


Guido Biondi mengunjungi San Giovanni Rotondo dan mengaku dosa kepada Padre Pio untuk pertama kalinya di tahun 1956. Dalam bilik pengakuan, Padre Pio bertanya kepada Guido apakah ia menghadiri Misa setiap Minggu. Guido menjawab bahwa ia menghadiri Misa sesekali. “Kalau begitu engkau harus keluar,” kata Padre Pio kepadanya, “Kembalilah dalam satu bulan dan aku akan mendengarkan pengakuanmu.” Guido sangat marah sembari bangkit dari posisi berlututnya. Ia tak sabar untuk segera meninggalkan bilik pengakuan. Ia merasa marah dan terhina karena Padre Pio memintanya pergi. Ia segera menuju ke halte bus untuk naik bus pertama yang menuju Foggia.

Di dalam perjalanan bus menuju Foggia, amarah Guido mulai menghilang. Saat ia memikirkan kembali apa yang terjadi di bilik pengakuan, ia menjadi lebih objektif. Ia memahami mengapa Padre Pio berbicara kepadanya dengan nada seperti itu. Guido merenungkan kembali hidupnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa bersalah akan banyak tindakannya di masa lalu. Ia telah berpaling meninggalkan Allah, dan dengan berbuat itu dia telah tersesat. Tiba-tiba ia merasakan beban berat dari dosa-dosanya.

Setelah tiba kembali di rumahnya, Guido mengingat kembali setiap detail pertemuannya dengan Padre Pio. Ia ingin, dengan sepenuh hatinya untuk dapat berbicara kembali dengan Padre Pio, namun ia merasa terlalu malu untuk melakukannya. Padre Pio telah menolaknya dan Guido merasa ia tidak akan pernah bisa berbicara dengan Padre Pio lagi.

Guido memiliki pekerjaan yang sangat baik di bidang industri automotif, ia menjadi pengawas bagi lebih dari 100 pekerja. Kembali pada pekerjaannya, Guido merasa sulit berkonsentrasi. Ia mulai kehilangan berat badan dan kesehatannya memburuk. Ia mengabaikan tugasnya di kantor. Suatu hari, Guido mengalami kesulitan bernapas. Tubuhnya terasa sangat sakit. Ia berdoa kepada Padre Pio dan pada saat itu juga rasa sakitnya menghilang. Jawaban doa dari Padre Pio memberinya keberanian untuk melakukan perjalanan kembali ke San Giovanni Rotondo.

Di biara Our Lady of Grace, Guido melihat seorang biarawan Kapusin yang menyapa lima orang yang berdiri di dekatnya. Sang biarawan mengajak mereka untuk mengikutinya. Sebuah kekuatan di luar dirinya mendorong Guido mengikuti  kelima orang tersebut. Mereka mengikuti sang biarawan menaiki tangga, lalu berjalan di koridor yang panjang dan sempit. Tiba-tiba mereka sudah berada di depan sel Padre Pio. Mereka mengetuk pintu dan mendengar ajakan untuk masuk. Guido adalah orang terakhir dari rombongan yang masuk ke sel Padre Pio.

Padre Pio menyalami mereka dan menanyakan kondisi seseorang yang sedang sakit. Guido kemudian tahu bahwa kelima orang ini adalah dokter. Mereka bekerja di RS - Rumah untuk Meringankan Penderitaan. Salah satu dokter bercerita panjang pada Padre Pio tentang seorang pasien. Setelah mereka berdiskusi dengan Padre Pio, satu per satu mereka mencium tangan Padre Pio lalu keluar. Tiba-tiba Guido sendirian saja bersama Padre Pio. Ketakutan mencengkeram hati Guido. Padre Pio tersenyum kepadanya dan mengulurkan tangannya. Sangat tersentuh, Guido mencium tangan Padre Pio lalu pergi.

Saat-saat bersama Padre Pio tersebut meninggalkan kesan mendalam pada Guido. Ia tahu bukanlah suatu kebetulan bahwa ia mengikuti kelima orang dokter itu menuju sel Padre Pio. Ia yakin bahwa kejadian itu telah diatur oleh Allah Yang Maha Kuasa. Malam itu juga, Guido mendapatkan kesempatan untuk melakukan pengakuan dosa kepada Padre Pio. Ia tak lagi merasa takut dan dapat melakukan pengakuan dan menerima absolusi. Ketika Guido beranjak pergi, ia merasa dimurnikan dan bahagia.

Seorang teman Guido yang berdiri di sana menunggu Guido. Ketika Guido keluar dari bilik pengakuan, ia tak dapat meredam kebahagiaannya. Ia berlari keluar dari gereja dengan penuh suka cita, dan berteriak gembira kepada temannya, “Saya mendapat absolusi ! Saya mendapat absolusi !”

---

Dino Segre yang lahir di Italia, adalah seorang penulis yang terkenal dan disegani. Ia menggunakan nama Pitigrilli sebagai nama pena dalam semua karyanya. Dino sangat berbakat, sukses, dan kaya raya. Walau ia tidak religius, seiring waktu ia mulai memikirkan makna yang mendalam tentang kehidupan. Dalam proses itu, minatnya akan kerohanian perlahan-lahan tumbuh.

Mengikuti saran seorang teman, Dino memutuskan untuk berkunjung ke San Giovanni Rotondo untuk bertemu dengan Padre Pio. Dino terkenal di seantero Italia, namun ketika mengunjungi biara Our Lady of Grace, ia ingin tetap tak dikenal. Ia berharap tak ada orang yang mengenalinya. Pagi hari  tatkala Dino menghadiri Misa Padre Pio, ia duduk di barisan paling belakang gereja, berusaha tidak menyolok sebisanya.

Di tengah Misa, ketika Padre Pio mendoakan mereka yang masih hidup dan yang telah berpulang, beliau berkata; “Berdoalah, saudara-saudara. Berdoalah dengan segenap hatimu untuk seseorang yang sedang berada di sini; seseorang yang sedang sangat membutuhkan doa kita. Suatu hari ia akan menerima Komuni Kudus di Altar Tuhan kita. Ia akan menjadi alat Tuhan untuk membawa orang lain kembali ke gereja; orang-orang yang telah hidup tanpa Tuhan; sama sepertinya.”

Dino merasa seolah disambar petir mendengar kata-kata Padre Pio. Ia yakin bahwa Padre Pio berbicara tentang dia. Tak ada keraguan di hatinya. Dino merasa hatinya hancur, ia mulai menangis. Walaupun berusaha keras, Dino tak bisa menghentikan air mata yang mengalir.

Setelah Misa berakhir, Dino mendapat kesempatan untuk mengaku dosa pada Padre Pio. Pada saat ia berlutut untuk mengaku dosa, Padre Pio mengutip Kitab Suci dan berkata kepadanya, “Apakah keuntungannya, jika seseorang mendapatkan seluruh dunia namun kehilangan jiwanya?” Tentu saja, Dino tahu jawaban dari pertanyaan ini; tak ada keuntungan sama sekali. Padre Pio sedang membicarakan kehidupan duniawi yang telah dijalani Dino selama bertahun-tahun. Padre Pio berkata kepadanya, “Tuhan telah sangat bermurah hati kepadamu.”

Pertemuan dengan Padre Pio tersebut menjadi titik perubahan bagi Dino Segre. Setelah meninggalkan San Giovanni Rotondo, ia mengunjungi penerbitnya dan meminta beberapa buku yang ia tulis untuk berhenti dicetak secara permanen dan ditarik dari pasar. Ia mengetahui bahwa keputusan ini akan menyebabkan kerugian finansial baginya, namun Dino tidak peduli. Ia tahu bahwa Padre Pio menetapkan standar moral dan spiritual yang tinggi. Dengan sepenuh hatinya, Dino ingin agar karya literaturnya dapat memenuhi standar tersebut. Sepanjang sisa hidupnya, ia hanya menulis buku-buku dengan tema Kristiani; buku-buku yang dapat menolong orang untuk mempraktekkan iman mereka.


Aurilio Montalto yang berasal dari Bolzano, Italia mengunjungi San Giovanni Rotondo untuk mengaku dosa kepada Padre Pio dan menghadiri Misanya. Ia berkali-kali pergi ke sana dan merasa sangat terinspirasi sehingga ia memutuskan untuk menetap di sana dengan istri dan keempat anaknya. Ia membeli sebuah hotel yang dekat dengan biara tersebut dan dari pendapatan itulah ia dapat memenuhi kebutuhan keluarganya.

Aurilio mempunyai seorang saudara laki-laki yang atheist, ia mengunjungi San Giovanni Rotondo untuk pertama kalinya tak lama setelah Padre Pio wafat. Sebelum pemakamannya, saudara laki-lakinya itu ingin melihat jenazah Padre Pio yang disemayamkan di gereja. Namun orang berjejal-jejal sehingga niatnya tak terlaksana.

Pada suatu hari Aurilio berbicara dengannya tentang Padre Pio. Saudara laki-lakinya itu menjelaskan bahwa ia tak mempunyai kesan apa pun tentang Padre Pio. Tentu saja dia tak percaya bahwa Padre Pio adalah seorang kudus. Semua pembicaraan tentang Padre Pio ditanggapinya secara dingin dan acuh tak acuh.

Tak lama kemudian, ia berjalan ke gereja Our Lady of Grace dan duduk sendirian di deretan bangku belakang. Tiba-tiba ia merasakan tepukan pada bahunya dan mendengar sebuah suara yang tegas. Ia menengok untuk mengetahui  siapa yang menepuknya itu, tetapi ia tak melihat seorang pun di sana. Karena ketakutan ia segera bangun lalu pindah ke bangku yang lain. Untuk kedua kalinya ia mendengar suara yang berwibawa itu dan merasa seseorang menyentuh bahunya. Ia mengamat-amati keadaan di sekelilingnya, namun tak ada seorangpun di sana. Rasa takutnya semakin memuncak sampai ia berkeringat dingin. Ia tak mengerti apa yang telah terjadi.

Pada kesempatan lain ketika Aurilio bertemu dengannya, ia menceritakan kejadian aneh yang dialaminya secara detail. “Bagaimana cara seseorang melakukan pengakuan dosa?” tanyanya. Dengan gembira Aurilio menceritakan segala sesuatu tentang sakramen pengakuan dosa itu dengan terperinci. “Bagaimana cara seseorang menyiapkan diri untuk menerima Komuni Suci pertamanya?” tanyanya lagi, Sekali lagi dengan gembira, Aurilio menjelaskan kepadanya.

Pada malam itu ia bermimpi. Padre Pio berdiri di sampingnya sambil memegang rosario. Dalam mimpinya, Padre Pio mengajarnya berdoa rosario. Mimpi itu merupakan titik awal pertobatannya. Tak lama setelah itu, ia meminta untuk diterima dalam Gereja Katolik. Sejak saat itu dan selanjutnya, ia menjalani hidup yang sangat saleh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar