Selasa, 31 Maret 2015

Padre Pio - SAKRAMEN TOBAT

01C-Bacaan Pilihan: Rabu, 01 April 2015

Padre Pio berbicara dengan seorang wanita yang baru menjadi janda; suaminya meninggalkan dia dan dua anaknya untuk tinggal dengan wanita lain selama 3 tahun. Tiba-tiba kanker merenggutnya. Ia setuju untuk menerima sakramen-sakramen terakhir sebelum kematiannya, setelah banyak tekanan-tekanan. Wanita itu bertanya: “Dimanakah jiwanya, Padre? Aku belum tidur, khawatir.” “Jiwa suamimu telah dihukum selamanya,” Jawab Padre Pio. Lalu wanita itu berkata: “Dihukum?” Pare Pio mengangguk dengan sedih. “Saat menerima sakramen-sakramen terakhir, dia menyembunyikan banyak dosa. Ia tidak bertobat ataupun berniat baik. Ia juga pendosa karena melawan belaskasih Tuhan, sebab ia selalu ingin hal-hal enak di dunia ini dan kiranya nanti memperoleh waktu untuk dipertobatkan oleh Tuhan.

Dua orang Freemason, dengan sengitnya melawan Tuhan dan Gereja Katholik, memutuskan untuk memperolok pengakuan dosa terhadap Padre Pio akan dosa-dosa yang mereka karang-karang. Tujuan mereka adalah merendahkan Sakramen Pengakuan Dosa. Orang-orang ini mengaku dosa pada waktu yang terpisah. Ketika mereka mulai menyebutkan dosa-dosa yang mereka karang-karang, Padre Pio menghentikan mereka, dan berkata kepada mereka bahwa ia mengetahui apa yang sedang mereka lakukan, dan mulai mengatakan kepada masing-masing mereka dosa-dosa mereka yang sesungguhnya, demikian juga waktu, tempat dan bagaimana mereka melakukan dosa mereka. Kedua orang itu sungguh terbebani sehingga beberapa hari kemudian mereka bertobat dari cara hidup mereka yang berdosa.
Padre Pio adalah seorang Kapusin Fransiskan yang mendapat 5 luka Yesus Kristus di tubuhnya yang dapat terlihat lebih dari 50 tahun. Padre Pio juga seorang visiuner, pembaca pikiran, nabi, pekerja mukjizat, bapa pengakuan dosa, mistikus, pertapa, dan misionari skala dunia. Ratusan buku dan artikel telah ditulis mengenai Padre Pio. Artikel-artikel panjang mengenai beliau telah tampil di banyak majalah termasuk Newsweek, Time, dan The New York Times Magazine.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar