PRAY, HOPE AND DON’T WORRY
Menimba dan menghidupi spiritualitas Padre Pio
Paulinus Mardame Simbolon, OFM Cap
Komunitas Sahabat Padre Pio Indonesia
Jakarta, 2011
Pendahuluan
Pada bulan Oktober 2010, setelah berakhirnya Triduum Pertama Padre Pio di Paroki Asisi Tebet, Jakarta, dengan persetujuan Pastor Paroki Asisi Tebet, dibentuk Komunitas Sahabat Padre Pio.
Sejak saat itu, Komunitas ini mulai mencari bentuk, merumuskan visi dan menetapkan beberapa missi yang hendak diraih dan dicoba wujudkan dalam program kerja selama setahun kedepannya.
Setahun telah berlalu dan komunitas pada bulan September 2011 juga telah menyelenggarakan triduum kedua dengan tekanan pada perayaan ekaristi, devosi dan pembelajaran bersama.
Sesudah berjalan selama setahun, tiba saatnya bahwa komunitas lebih memantapkan diri ke dalam dan juga melihat panggilannya untuk membagikan kekayaan pengalaman rohaninya kepada kalangan yang lebih luas.
Untuk itu tulisan ini barangkali dapat membantu para pengurus komunitas dan para anggotanya.
1. Padre Pio
Padre Pio, kini Santo Pio, lahir pada tanggal 25 Mei 1887 di Pietrelcina, Italia Selatan, dari pernikahan Grazio dan Giuseppa Forgione, sebuah keluarga petani sederhana yang harus bekerja keras untuk menyediakan kebutuhan sehari-hari termasuk pendidikan anak-anak dalam keluarga itu.
Pada saat dibaptis, dia diberi nama Francesco Forgione antara lain karena devosi dan kecintaan Ibu Giuseppa Forgione kepada Santo Fransikus Asisi.
Francesco dididik dan sempat mendapat bimbingan belajar secara pribadi agar bisa menyelesaikan bahan-bahan pembelajaran untuk dapat diterima di Nopisiat Kapusin pada umur 15 tahun dan sejak itu bernama Pio.
Dengan kondisi kesehatan yang lemah dan rapuh tetapi dengan kemauan yang kuat dan dengan pertolongan rahmat Tuhan, akhirnya Frater Pio menyelesaikan studi dan formationya dan ditahbiskan menjadi imam pada tahun 1910.
Pada tanggal 20 September 1918, kelima luka-luka Sengsara Tuhan kita Yesus Kristus muncul pada tubuhnya. Padre Pio adalah imam pertama yang mempunyai stigmata dalam sejarah Gereja. Tak terhitung jumlah orang yang tertarik pada nasehatnya dan datang untuk merayakan sakramen Pengampunan Dosa yang dilayaninya. Dia bahkan mampu melayani para peniten sampai 15 jam per hari atau lebih. Amat banyak orang memperoleh bimbingan rohaninya baik secara langsung maupun lewat korespondensi. Hidupnya dibaktikan kepada hidup doa selama berjam-jam tiap hari disertai matiraga yang berkanjang sebagai bukti betapa dia dipersatukan dengan penderitaan Kristus.
Korespondensi Padre Pio dengan pembimbing rohaninya mengungkapkan penderitaannya yang berat, baik fisik maupun rohani sejak menerima stigmata sampai akhir hidupnya. Surat-surat itu mengungkapkan kesatuannya yang mendalam dengan Tuhan dan cintanya yang membara kepada Ekaristi Suci dan Bunda Kerahiman Ilahi. Selain itu ia juga menjalani apa yang dikenal sebagai inkwisisi yang dimulai pada tahun 1921 dengan perintah dari Takhta Suci.
Setelah lebih dari setengah abad mengalami penderitaan yang dahsyat seraya menjalankan aktivitas kerasulan yang terus-menerus di San Giovanni Rotondo, Padre Pio dipanggil Tuhan untuk menerima ganjaran surgawi pada tanggal 23 September 1968.
Tidak lama setelah beliau dipanggil Tuhan, Gereja melaksanakan proses kanonisasi atas diri Padre Pio. Langkah-langkah dan proses kanonisasi Padre Pio berlangsung sebagai berikut.
Pada tanggal 20 Maret 1983, proses pada tingkat keuskupan dimulai dan selesai pada tanggal 21 Januari 1990. Pada hari Minggu, 2 Mei 1999, Paus Yohanes Paulus II mendeklarasikan Padre Pio sebagai Yang Berbahagia atau Beato dan pada tanggal 16 Juni 2002 Padre Pio dideklarasikan sebagai Santo oleh Paus yang kini menjadi Beato itu.
Di berbagai negara di dunia terdapat ribuan kelompok doa Padre Pio, yang dari masa hidup Padre Pio sampai saat ini berusaha untuk mengikuti nasehat dan teladan Padre Pio. Mereka dari dulu sampai saat ini berusaha dengan giat dan dalam iman menemukan Tuhan dalam hidup Padre Pio.
2. Beberapa fakta luarbiasa
Umumnya lima hal kerap dipandang sebagai fakta luarbiasa dan sekaligus anugerah istimewa bagi dan dalam diri Padre Pio. Kelima itu adalah: stigmata, bau harum, demam tinggi, bilokasi dan kemampuan membaca hati orang yang datang kepadanya. Tiga hal pertama dari kelima yang disebut di atas yakni: stigmata, bau harum dan demam tinggi yang bisa mencapai 48C atau 118.4F mendapat penelitian dan penyidikan mendalam dan merupakan inti pokok laporan Mgr Raffaelo Carlo Rossi kepada Takhta Suci.
Kedua hal yang lainnya memang diselidiki dan diteliti oleh Utusan Takhta Suci itu walau tidak masuk dalam bagian kesimpulan. Namun fakta bilokasi dan kemampuan membaca hati itu disaksikan oleh orang-orang sekitar Padre Pio dan mereka yang merasa mendapat bantuan dari Tuhan dengan doa dan sikap Padre Pio.
Mgr Rossi tiba di San Giovanni Rotondo pada tanggal 14 Juni 1921 untuk melaksanakan penelitian dan penyidikan atau mungkin lebih tepat inkwisi dan menyelesaikan laporannya secara tertulis 4 Oktober 1921.
2.1. Stigmata
Tentang stigmata, keterangan yang dapat kita tangkap ialah bahwa Kristus ingin menyatukan Padre Pio dengan penderitaan-Nya.
Padre Pio menerima stigmata pada tanggal 20 September 1918 pada saat berdoa di koor sesudah misa:
Saya merasakan belarasa yang penuh atas penderitaan Tuhan dan saya bertanya kepada-Nya apa yang dapat saya perbuat. Saya mendengar suara ini:’ Saya menyatukanmu dengan penderitaan-Ku’. Pada saat penglihatan itu lenyap, saya tersadar dan ketika indera saya berfungsi kembali dan saya melihat tanda-tanda ini yang meneteskan darah. Saya tidak mempunyainya sebelumnya.
Padre Pio berulang kali memohon agar stigmata itu dicabut dari dirinya, tetapi karena dia hendak dipersatukan dengan penderitaan Kristus, stigmata itu baru menghilang pada saat kematiannya.
2.2. Bau harum
Orang sekitar Padre Pio, entah itu di biara atau di gereja mencium bau harum yang menurut orang-orang yang mendapatkan kesempatan itu adalah seperti bau harum dari bunga violet, atau bakung atau mawar. Bau itu tercium manakala Padre Pio lewat pada saat-saat tertentu, bisa keluar dari rambutnya atau dari stigmata atau dari sarung tangan yang digunakan membungkus stigmata itu.
Tentu ada juga skeptisisme berkenaan dengan hal ini dan bahkan Padre Pio dituduh menggunakan parfum yang diberikan oleh ibu-ibu yang dekat dengannya.
Pada saat diadakan penggeledahan kamar Padre Pio, barang-barang seperti itu tidak ditemukan; yang ditemukan cuma sabun mandi dengan merek yang sama dengan yang digunakan oleh para frater, bruder dan pater lain di biara. Tambah lagi bau harum itu tidak selalu ada, hanya kadang-kadang tercium dan datangnya seperti gelombang. Hal itu dapat terjadi, di dalam kamar atau di luar kamar Padre Pio atau pada saat Padre Pio sedang berjalan. Bau harum itu juga dapat dicium dari kejauhan.
Dalam laporannya kepada Takhta Suci, Mgr Raffaelo Carlo Rossi menulis:
Pada saat in saya bukan …… pentobat dan pasti juga bukan pengagum Padre Pio, ….tetapi demi nurani yang jernih saya harus mengakui bahwa berhadapan dengan beberapa fakta yang ada, saya tidak dapat bertahan pada syakwasangka personal saya yang tidak menyukai hal itu walaupun tidak pernah mengungkapkan apa-apapun di luar. Dan salahsatu dari fakta-fakta itu adalah bau harum, saya ulangi, saya telah menciumnya, sebagaimana orang lain juga. Satu-satunya orang yang tidak memperhatikan hal itu adalah Padre Pio sendiri.
Kesaksikan banyak orang lain juga menyebutkan perihal bau harum ini. Bau harum ini adalah isyarat bahwa rahmat tertentu sedang dianugerahkan oleh Allah dan bagi orang yang mencium baru harum itu, bau harum itu menjadi pertanda bahwa doanya akan dikabulkan.
2.3. Demam kelewat tinggi
Salahsatu fakta yang mungkin dapat dikategorikan termasuk paling aneh tetapi nyata adalah demam tinggi yang kadang-kadang dialami oleh Padre Pio. Dapat terjadi bahwa demam itu sedemikian tinggi hingga sampai 118.4 F atau 48 C atau bahkan pernah lebih tinggi lagi.
Kendati mengalami suhu badan demikian tinggi dengan demam yang kelewat tinggi, tidak berarti bahwa Padre Pio tinggal di tempat tidur saja. Ia bergerak lincah dan melakukan aktivitas dengan rajin dan teliti.
Orang-orang sekitarnya berpendapat dan merasakan bahwa kenyataan ini mempunyai kaitan erat dengan pengalaman rohani Padre Pio yang memang dipanggil dan dianugerahi Tuhan untuk menyatu dengan penderitaan-Nya.
Padre Pio tidak gampang menceritakan atau memberitahukan hal yang amat istimewa ini. Tetapi karena telah disumpah oleh petugas yang dikirim Takhta Suci yang bertanya kepada Padre Pio bagaimana dapat diterangkan bahwa terjadi bahwa kadang-kadang suhu badannya bisa mencapai 118.4F, Padre Pio menjelaskan bahwa fenemonena ini terjadi manakala dia sedang merenungkan Tuhan dan sengsara Tuhan Yesus. Pada saat menderita demam itu Padre Pio merasa seperti berada dalam dapur api. Mungkin tidak berlebihan mengatakan bahwa pengalaman ini juga membuktikan betapa Padre Pio benar-benar dipersatukan dengan sengsara Kristus.
2.4. Bilokasi
Pengalaman beberapa orang pada masa hidup Padre Pio adalah fakta bilokasi atau Padre Pio dilihat, ditemukan dan dirasakan berada di lebih dari satu tempat pada saat yang sama.
Pengalaman dan anugerah ini adalah suatu bukti betapa Allah ingin dan senantiasa menolong orang yang membutuhkan pertolongan berkat doa Padre Pio. Hal ini lagi-lagi menunjukkan betapa Padre Pio ingin menolong orang dalam berbagai kesulitan dan kepentingan demi keselamatan jiwa dan kemuliaan Tuhan sendiri. Padre Pio selalu ingin meringankan penderitaan orang lain.
Padre Pio sendiri mengakui bahwa bilokasi itu memang terjadi, tetapi ketika dia diminta untuk memberi penjelasan tentang hal itu, kepada Penyelidik dari Takhta Suci itu di bawah sumpah dia berkata:
Saya tidak tahu bagaimana itu terjadi dan hakekat fenomena itupun tidak saya tahu dan saya juga tidak terlalu menghiraukannya, tetapi hal itu terjadi dalam diri saya untuk berada di hadapan orang ini atau orang itu atau di tempat ini atau tempat lain; saya tidak tahu entah pikiran saya yang dibawa ke sana, atau mungkin yang saya lihat adalah sejenis representasi suatu tempat atau pribadi; saya tidak tahu entah saya berada di sana dengan atau tanpa badan saya.
Namun Padre Pio mengakui bahwa hal itu terjadi sewaktu dia berdoa. Mula-mula pikirannya tertuju kepada doa itu dan kemudian muncul representasi orang atau tempat itu dan kemudian setelah peristiwa bilokasi berakhir dan selesai, Padre Pio berada kembali pada posisi atau keadaan semula.
2.5. Membaca hati
Padre Pio sama seperti Pastor dari Ars dan Leopold Mandic dikenal sebagai confessor yang sangat disukai dan dicari oleh para peniten. Mereka adalah pelayan Sakramen Pengampunan yang yang luar biasa. Oleh kesabaran dan kesungguhan hati mereka di kamar pengakuan, sangat banyak orang merasakan kerahiman Tuhan dan kembali kepada jalan yang benar sebagaimana yang diajarkan oleh Gereja Kudus. Mereka juga dikenal sebagai rasul sakramen pengampunan dosa.
Padre Pio menurut beberapa literatur bisa berada di kamar pengakuan sampai 15 jam sehari atau lebih. Jumlah jam itu dapat terjadi dan terpenuhi karena Padre Pio sering menunda mempersembahkan Kurban Misa dari waktu pagi atau ke siang atau bahkan menggesernya tengah malam atau sesudahnya. Selain itu ia juga sering tidak ikut makan pagi. Untuk makan siang biasanya dia hanya memakan sayuran, buah dan minyak zaitun sementara makan malamnya hanya terdiri dari segelas coklat.
Ia benar-benar membaktikan dirinya untuk doa di koor atau pelayanan di kamar pengakuan. Fakta sedemikian banyak waktu diberikan untuk pelayanan sakramen pengakuan dosa ini membuktikan betapa Padre Pio ingin memberi perhatian kepada pertumbuhan spiritual dan keselamatan jiwa orang secara personal dan langsung. Doa Padre Pio yang terkenal berkenaan dengan hal ini dan dengan semua anugerah yang dimohonkannya dari Tuhan selalu dilandasi tujuan:”… supaya Nama Tuhan dimuiliakan dan jiwa-jiwa diselamatkan”.
Tak dapat disangkal bahwa salahsatu kekuatan dan dayatarik yang dirasakan oleh orang yang hendak merayakan sakramen yang kurang populer ini adalah kemampuan Padre Pio membaca hati orang baik yang berada di depannya maupun yang sedang berada di tempat jauh.
Waktu penyelidik dari Takhta Suci itu menanyakan hal ini kepada Padre Pio, jawaban inilah yang diberikannya:”Kadang-kadang terjadi dan saya merasakan di dalam diri saya dengan jelas perihal kesalahan atau dosa atau keutamaan seseorang yang saya kenal atau saya kenal secara umum”.
Memang tidak dapat disangkal bahwa kemampuan dan integritas seorang confessor juga amat memudahkan dan memungkinan bahwa orang dapat mengakukan dosa-dosanya dan melakukan pertobatan secara lebih mudah dan dengan perasaan yang lebih nyaman.
Tak dapat diragukan bahwa tuntunan, isi dan cara memberi nasehat dan rasa aman yang diciptakan atau diupayakan oleh confessor berpengaruh banyak dalam diri seseorang yang datang memohonkan pengampunan dosa melalui sakramen rekonsiliasi.
3. Mengikuti Kristus dengan patuh dan setia
Bapa Suci, Paulus VI, dalam percakapan Beliau dengan para Pimpinan Tertinggi Ordo Kapusin pada tanggal 21 Februari 1971, memperkenalkan Padre Pio sebagai seorang model yang patut dicontoh.
Bapa Suci ini menggambarkan karakter dan semangat Padre Pio dengan kata-kata ini:
Mukjizat yang telah terjadi pada Padre Pio akan terjadi juga pada diri Anda. Lihatlah ketenaran yang dia miliki! Lihat betapa dari seluruh dunia orang bimbingannya berkumpul sekeliling dirinya! Mengapa? Apakah karena barangkali dia adalah seorang filsuf? Atau cendekiawan? Apakah karena dia memiliki segala fasilitas? Itu terjadi karena dia merayakan Misa dengan rendah hati, mengaku dosa dari pagi sampai malam, dan sulit untuk dikatakan, karena dia adalah representasi Tuhan kita yang menandainya dalam luka-luka-Nya. Dia seorang manusia pendoa dan penderita.
Gambaran diri Padre Pio adalah pribadi yang taat dan putra gereja yang setia. Mengenai kepatuhan dan ketaatan ini, para penulis bukan saja mengungkapkan ketaataanya kepada Takhta Suci tetapi juga kepada Pimpinan Ordo dalam berbagai tingkatan.
Pada masa hidupnya sang santo ini dengan cepat sangat dicintai oleh baik orang beriman maupun tak beriman yang kemudian bertobat dan menjadi murid Kristus yang setia. Tetapi sesungguhnya dia juga dihambat, dibatasi dan bahkan dihina hampir sepanjang hidupnya dengan berbagai alasan dan argumentasi. Kesulitan dalam berbagai hal itu baru berakhir menjelang wafatnya pada tanggal 23 September 1968.
Sesudah menerima stigmata Padre Pio berhadapan dengan mereka yang tidak menyukainya bahkan menuduhnya dengan menyatakan bahwa stigmata itu cuma gejala psikosomatis atau Padre Pio sengaja menimbulkan stigmata dengan menggunakan iodine. Memang Padre Pio sendiri juga mengakui untuk beberapa lama menggunakan iodine justru dengan maksud dan keyakinan bahwa dengan demikian luka itu akan sembuh dan menghilang.
Ada juga yang menuduhnya mempunyai hubungan yang tidak sehat dengan beberapa perempuan. Atau bahkan dipandang sebagai orang merugikan gereja paroki misalnya karena akhirnya lebih banyak orang datang ke kapel biara untuk mengaku dosa, mengikuti kurban misa dan tentu juga untuk memohonkan doa dengan pelbagai intensi. Bahkan oleh Takhta Suci pada tanggal 12 Juni 1931 dikeluarkan suatu dekrit yang menandaskan bahwa dari Padre Pio dicabut hampir semua kewenangan imamatnya seperti berkotbah, memberi berkat, mendengar pengakuan dosa dan hanya boleh merayakan misa di kapel pribadi dan pada jam yang tidak ditentukan sehingga umat tidak tahu jam berapa Padre Pio mempersembahkan Misa.
Dia mengalami dan mesti melalui pelbagai pembatasan dan pemeriksaan baik dari Hirarki maupun dari Pimpinan Ordo Kapusin sendiri. Ungkapan yang walau nampaknya agak naif tetapi sungguh mengungkapkan paham ini adalah ucapan Padre Pio:”Saya adalah putra ketaatan. Jika atasan saya menyuruh saya melompat keluar jendela, saya akan melakukannya tanpa mempertanyakan”.
Padre Pio baru mengalami kebebasan penuh melaksanakan panggilan tugas dan pelayanannya kepada umat beriman dan kepada siapa saja yang datang atau memohon doanya pada tahun 1964 pada saat Kardinal Ottaviani, kepala kantor di Takhta Suci pada saat itu memberitahukan kehendak Paus Paulus VI bahwa “Padre Pio menjalankan dan melaksanakan tugas dan pelayanannya dengan kebebasan penuh”.
Kesetiaan dan ketaatan itu hanya bisa kita pahami manakala kita mencoba merenungkan apa yang dikatakan oleh Padre Pio tentang dirinya sendiri dan tentang stigmata dan penderitaan yang dialaminya selama hidupnya.
Padre Pio mengakui bahwa dia sendiri bahkan tidak mengerti dirinya dan berkata:”Saya sendiri adalah misteri bagi diri saya sendiri”. Kalimat itu mengungkapkan bahwa ketaatan dan kepatuhan kepada Tuhan dan kepada Gereja-Nya merupakan jatidirinya.
Agaknya hal itu hanya dapat ditelusuri dari peristiwa pada saat Padre Pio menerima stigmata.
Waktu itu dia merasakan dirinya tiba-tiba seperti terangkat dan melihat Tuhan dalam diri sosok seseorang di salib yang merasa sedih dan meratapi rasa tidak tahu syukur manusia terutama mereka yang telah dibaktikan dan dikhususkan kepada-Nya.
Di hadapan utusan Takhta Suci yang mengadakan penyelidikan dan penyidikan di bawah sumpah Padre Pio kembali menandaskan dan tidak mau mengoreksi kata-kata berikut ini:
Dia (Tuhan) mengundang saya untuk ambil bagian dalam kesedihan-Nya dan merenungkannya: pada saat yang sama Dia mendorong saya untuk bekerja demi keselamatan saudara-saudara saya. Saya merasakan belarasa yang penuh atas penderitaan Tuhan dan saya bertanya keapdanya apa yang dapat saya perbuat. Saya mendengar suara ini:’ Saya menyatukanmu dengan penderitaan-Ku’.
Padre Pio mengupayakan banyak hal demi keselamatan jiwa orang melalui penderitaannya yang dipersatukan dengan Tuhan, melalui cintanya kepada Gereja Kudus dan secara khusus dengan pelayanannya atas Sakramen Pengampunan dosa selama berjam-jam setiap hari.
Semboyan dan nasehatnya yang kini bergema di pelbagai penjuru dunia yakni: Berdoa, Berharap dan Jangan Khawatir (Pray, Hope and Don’t Worry) keluar dari pengalamannya yang mengitegrasikan kenyataan perjalanan dan pengalamannya menuju kematangan rohani dan pengakuan betapa Tuhan selalu mendengar dan mengabulkan permohonan Umat-Nya. Padre Pio membuktikan dan sekaligus mengundang umat beriman bahwa kesatuan dengan Gereja Kudus dalam ajaran dan tradisi yang mendalam itu merupakan syarat untuk menjadi pribadi yang matang dan menjadi murid Kristus yang sejati.
Untuk menjadi pribadi matang dan sanggup mengolah kesulitan, orang harus mampu memamah kepahitan atas kegagalan berbuat baik dan melaksanakan yang semestinya, menerima dan mencinta keheningan dan kemudian terbuka bagi kehadiran Tuhan yang menguatkan dan membebaskan.
4. The Legacy of Padre Pio
Jutaan orang setiap tahun mengadakan jiarah ke San Giovanni Rotondo di Italia Selatan. Pastilah ada dalam diri Padre Pio yang membuat jutaan orang tertarik dan berminat dari seluruh dunia. Secara khusus hal itu dinyatakan oleh terbentuknya puluhan ribu kelompok doa secara spontan dan tersebar di seluruh dunia.
Barangkali spiritualitas dan legacy yang tinggalkan Padre Pio adalah: Mengikuti Kristus sebagai putera dan puteri Gereja yang taat dan setia dengan senantiasa berdoa, berharap dan tidak menjadi cemas berhadapan dengan kesulitan apapun.
Legacy dan spritualitas itu ditinggalkan oleh Padre Pio dapat dicermati dalam beberapa butir.
4.1. Mengikuti dan mencintai Yesus Kristus yang tersalib dan wafat bagi penebusan dunia
Kenyataan yang paling gampang diingat dan dengan cepat disebut sebagai identifikasi diri Padre Pio adalah kesatuan dirinya dengan Kristus yang menderita. Kita diingatkan oleh pengakuan Padre Pio bahwa Tuhan kita ingin menyatukan Padre Pio dengan penderitaan-Nya.
Makna salib sangat berperan dan mendalam bagi hidup Padre Pio. Makna dan pengalaman salib itu juga ditandaskannya bagi mereka yang datang meminta nasehatnya atau mereka yang mau menjadi anggota kelompok doa Padre Pio.
Ajaran kesalehan Katolik juga menyatakan bahwa penderitaan dapat dipersembahkan sebagai silih atas dosa-dosa yang dilakukan dan bermanfaat bagi penyelamatan jiwa bila dilakukan dan dipersembahkan dari ketulusan hati. Paham seperti itu sudah menjadi keyakinan dan penghayatan spiritualitas Padre Pio sejak masa mudanya. Bahkan kepada pembimbing rohaninya Pater Benedetto dia menulis:”Bagiku penderitaan-penderitaanku lebih berharga daripada emas”.
Cinta dan kesatuan Padre Pio dengan Kristus yang tersalib diungkapkan dengan sangat indah dalam Jalan Salib di dekat biara Bunda Kerahiman Ilahi di San Giovanni Rotondo. Pada perhentian kelima, Francesco Messina, seorang seniman Italia yang terkenal, menggantikan sosok Simon dari Cyrene dengan sosok Padre Pio yang menolong Yesus memikul salib-Nya menuju Golgotha.
Kesatuannya dengan penderitaan Kristus juga terungkap dalam demam yang sangat tinggi yang kerap harus ditanggungnya dan dalam tetesan darah yang keluar dari stigmata yang disandangnya.
Padre Pio menyatukan penderitaannya dengan penderitaan Kristus pada pengakuan dosa yang dilayaninya. Dia mesti mendalami kesalahan dan dosa orang, keputusasaan dan penderitaan orang yang datang mengaku dosa kepadanya dari berbagai penjuru dunia. Keterlibatan batin itu tidak bisa tidak membuktikan cinta-Nya kepada Kristus yang menderita dan mau menebus dan membebaskan umat-Nya dari dosa dan derita.
Kesatuannya dengan Kristus yang menderita mengungkapkan mengapa Padre Pio berupaya sekuat tenaga dan hatinya menolong orang-orang yang menderita termasuk dengan membagikan makna dari karunia bilokasi itu kepada banyak orang.
Hatinya meringis menyaksikan derita orang karena kekuatan jahat atau karena kelemahan diri sendiri dan karenanya rela dan sukacita melayani mereka selama berjam-jam di kamar pengakuan atau di ruang tamu untuk memberikan nasehat dan kekuatan. Dalam kesulitan sebesar apapun selalu ada harapan dan harapan itu menjadi kuat dan menuntun kepada kenyataan karena doa dan karenanya tidak perlu ada yang dikhwatirkan. Salib menguatkan dan menunjukkan jalan keluar.
Salib adalah jalan hidupnya dan salib Kristus itu menguatkan dia untuk ikut mewartakan penebusan dosa.
Padre Pio menulis kepada anak-anak rohaninya:” Salib tidak pernah menghimpitmu, beratnya mungkin membuatmu terhuyung-huyung hampir jatuh, tetapi kekuatannya akan menopangmu”.
Teologi Padre Pio agaknya adalah Telogi Salib. Dengan penderitaan, kematian dan kenosis kita sampai kepada kebangkitan dan kemuliaan sebagaimana dialami oleh Yesus Kristus sendiri.
Teologi salib juga berisikan panggilan untuk hidup dalam ketaatan dan penghampaan diri. Ketaatan dan kepatuhannya kepada Takhta Suci dan Pimpinan Ordo dimaknainya sebagai wujud nyata mencintai Kristus yang tersalib dan menderita demi penebusan umat manusia. Padre Pio selalu ingin ambil bagian dalam karya penebusan itu.
4.2. Mencintai dan memegang teguh Iman Katolik dan Ajaran Gereja
Keteguhan pendirian Padre Pio akan Gereja Katolik yang kudus dibuktikan oleh ketaatannya untuk menjalani dan menerima prosedur dan keputusan yang ditetapkan baginya dalam bentuk pembatasan aktivitas pelayanannya. Ketaatannya kepada otoritas Gereja dan Ordo juga diterimanya pada saat Pater Benedetto tidak lagi dijinkan menjadi pembimbing rohani dan bahkan dilarang untuk berkomunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Ada penulis yang mengatakan bahwa Pater Benedetto masih hidup selama duapuluh tahun sesudah pemisahan itu tetapi keduanya tidak pernah boleh saling melihat apalagi berbicara satu sama lain.
Secara populer, warisannya yang luas menyebar ke mana-mana khususnya bagi orang sederhana adalah hormat dan cintanya kepada Bunda Maria. Sejak masa kecilnya Padre Pio sudah memiliki devosi dan hubungan khusus dengan Bunda Maria. Padre Pio mengakui dan menandaskan bahwa hidupnya selalu ditolong dan dilindungi oleh kehadiran yang terus-menerus dari Yesus, Bunda Maria dan Malaekat Pelindungnya.
Secara khusus Padre Pio amat menyukai lukisan Bunda Maria, Bunda Kerahiman Ilahi dari abad ketigabelas yang terdapat di sanctuarium Gereja San Giovanni Rotondo. Lukisan itu sangat dicintai juga oleh penduduk San Giovanni Rotondo. Di depan lukian Bunda Kerahiman Ilahi di biara di San Giovanni itu, Padre Pio bisa merenung, bermeditasi dan berdoa rosario selama berjam-jam. Lukisan itu juga adalah lukisan kesayangan dan yang paling disukai oleh Padre Pio, karena secara sederhana dan visual lukisan ini menunjukkan betapa Yesus mau juga membagikan rahmat dan kerahiman ilahi sebagaimana dilambangkan susu Bunda Maria yang nampaknya seperti diberikan juga oleh Yesus kepada semua anak-anak Maria di seluruh dunia.
Bagi Padre Pio bergemalah senantiasa apa yang pernah dikatakan oleh Santo Bernardus bahwa:”Maria adalah fundasi dari pengharapanku”. Kalimat itu juga dilukis di pintu kamar Padre Pio. Selama bertahun-tahun gambaran Bunda Maria yang demikian itu yang dipandang paling melekat dalam diri Padre Pio.
Padre Pio sangat menghargai sakramen-sakramen dan secara khusus Padre Pio memberikan perhatian kepada Sakramen Ekaristi dalam Kurban Misa dan Sakramen Pengampunan Dosa. Kurban Misa yang dipersembahkan tiap hari merepresentasikan dan mengulangi kurban salib yang memperolehkan keselamatan kepada manusia sementara sakramen pengampunan dosa memperdamaikan kembali dengan Tuhan manusia yang menyesali dan mengakui dosa-dosanya serta berjanji untuk memperbaiki hidupnya.
Perayaan dan pelayanan kedua sakramen ini memegang tempat terutama dalam diri dan pelayanan Padre Pio. Keduanya hendak dipenuhi dengan setia dan tidak ada yang diabaikan. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa karena demikian banyaknya orang mengaku dosa dan permintaan itu memerlukan banyak waktu, Padre Pio seperti disebutkan di atas kadang-kadang harus menunda mempersembahkan kurban misa ke tengah hari atau sampai tengah malam.
Dicatat oleh juga para penulis bahwa Padre Pio mempersembahkan misa lebih lama daripada biasa dan bisa berlangsung sampai berjam-jam. Beberapa bagian pada Doa Syukur Agug Missale Romanum seperti pada saat mendoakan orang yang masih hidup dan sudah meninggal (Memento) membutuhkan waktu hening sampai empat atau lima menit.
Padre Pio juga memberikan waktu yang agak lama pada saat mendoakan kisah pendirian atau kata-kata konsekrasi khususnya pada saat mengucapkan kata-kata konsekrasi atas piala.
Atas pertanyaan Utusan Takhta Suci mengapa Padre Pio menggunakan demikian banyak waktu untuk konsekrasi terutama untuk piala dan apakah Padre Pio mengulang-ulang kata-kata konsekrasi itu, Beliau menjawab:” Saya berusaha untuk memaknai kata-kata itu sedalam-dalamnya, untuk mengenangnya sendiri, tetapi saya sama sekali tidak mengulangi rumusan itu”.
Pasti sakramen-sakramen lainnya sangat penting dan mendapat penghargaan dan tempat yang tinggi dalam penghayatan Padre Pio, tetapi adalah kedua sakramen ini yang secara langsung dan kontinu dia layani di biaranya di San Giovanni Rotondo. Ke sana orang datang untuk meminta nasehat, merayakan sakramen rekonsiliasi dan mengikuti kurban Misa serta minta didoakan. Pelayanan kedua sakramen ini praktis menduduki urutan utama dalam hidupnya yang kemudian diikuti oleh praktek devosi, meditasi dan kontemplasinya.
Berhubungan langsung dengan Kurban Misa, adalah hormat dan devosi Padre Pio terhadap Sakramen Mahakudus yang mengagumkan dan dapat menjadi teladan bagi kita pada jaman ini.
Padre Pio berdoa dan bermeditasi berjam-jam di depan Sakramen Mahakudus, sebab sakramen ini adalah sakramen yang paling dirindukannya.
Hormat dan penghayatannya akan Sakramen Mahakudus itu dapat dimengerti dari doa yang dia sendiri karang yakni Tamu Tabernakel Di Keheningan:
Dekaplah aku dalam hening-Mu
jauh dari kebisingan dan kegelisahan dunia
dalam keheningan dalam mana kutemukan diriku yang sebenarnya
dalam bentuknya yang asli dan tanpa selubung apa pun,
dalam kemalangannya, sehingga keheningan ini memungkinkan aku
menemukan diriku yang sebenarnya
Bawalah aku ke dalam kekayaan ilahi keheningan-Mu,
kepenuhan yang mampu mengisi seluruh jiwaku;
Bungkamlah segala sesuatu dalam diriku yang tidak berasal dari-Mu,
segala sesuatu yang tidak merupakan kehadiran-Mu yang murni
dan sederhana,
kesendirian dan kehadiran-Mu yang penuh damai.
Dia bisa menghayati kedalaman mistik karena imannya yang demikian besar dan kuat terhadap Sakramen Mahakudus pada mana Padre Pio seolah mendengar Yesus sendiri yang mengundang dia dan umat manusia untuk datang kepada-Nya:
Datanglah kepada-Ku,
sebagaimana Aku telah datang kepadamu
dalam kehadiran Ekaristik-Ku
Datanglah ke Tabernakel-Ku, hai kamu semua yang letih
dan mencari tempat perlindungan dan penghiburan
Datanglah kepada-Ku,
kamu semua yang bekerja keras dan menanggung beban
dan Aku akan memberikanmu istirahat dan penghiburan
Aku akan membuatmu melupakan kesulitan hidup,
penindasan waktu dan memulihkan kekuatanmu.
Kedekatan dan cinta Padre Pio kepada Bunda Maria juga sungguh luarbiasa. Secara khusus dia sangat mencintai Bunda Kerahiman Ilahi sebagaimana diucapkan di atas.
Kecintaan itu antara lain diungkapkan dengan pelbagai nama yang diberikan oleh Padre Pio kepada Bunda Maria seperti: Ratu para martir, Penghibur, Bunda Surgawi, Pengantara segala rahkmat, Bunda yang paling lembut bagi para imam, Bunda yang paling murni, Bintang Fajar dan Bunda yang penuh belaskasih di surga.
Cinta dan kedekatan dengan Maria secara khusus dirasakan dan diungkapkan oleh Padre Pio dalam doa rosarionya. Doa Rosario, sebagai khasanah dan warisan dan harta Gereja yang amat berharga menjadi doa kesukaan Padre Pio. Dia akan mendoakan rosario setiap kali ada kesempatan atau waktu senggang.
Kecintaan Padre Pio kepada doa rosario tentu tidak bisa dilepaskan dari cinta dan kedekatannya dengan Bunda Maria. Dia merumuskan doa rosario sebagai:”Sintese iman, ekspressi kasih kita dan fundasi dari iman kita”.
Bagi Padre Pio doa rosario adalah doa yang paling unggul, karena bagi dia doa rosario adalah meditasi atau renungan yang paling mendalam tentang rahasia iman Kristen.
Kiranya tidak berlebihan mengamini Padre Pio yang meyakini bahwa doa rosario adalah sintese iman kita sebagaimana terungkap dalam peristiwa-peristiwa sedih, gembira dan mulia yang kemudian dilengkapi oleh Paus Johannes Paulus II dengan Misteri Cahaya pada tahun 2000.
Menjelang akhir hidupnya Padre Pio ditanyai seseorang tentang apa yang bakal diwariskannya kepada anak-anak rohaninya, jawaban Padre Pio adalah:”Rosario”. Padre Alessio Parente yang sempat menjadi asisten pribadi Padre Pio dalam dua masabakti yakni 1958-1961 dan 1965-1968 menulis:” Saya berada di samping Padre Pio selama enam tahun dan selama tahun-tahun itu saya tidak pernah melihat beliau tanpa rosario di tangannya, malam dan siang. Bunda kita tidak pernah menolak doa Padre Pio melalui rosario… Rosario adalah rantai yang menetap antara Padre Pio dengan Bunda Maria”.
Selain doa rosario, doa yang setiap hari diucapkan oleh Padre Pio terutama bagi mereka yang memohonkan doanya adalah Novena Kepada Hati Kudus Yesus.
Kenyataan ini kiranya bukan tanpa alasan dan memang ada latarbelakang yang kuat dan membekas dalam pada diri dan hati Padre Pio.
Dalam kronik yang ditulis Padre Benedetto, bekas pembimbing rohani Padre Pio kita dapat membaca ini:
Ketika ia (Padre Pio) berumur lima atau enam tahun, Hati Mahakudus Yesus (gambaran dari Hati Mahakudus) tampak pada altar agung, memberikan tanda agar dia (Padre Pio) datang dan mendekat ke altar dan meletakkan tangan pada kepalanya, menandaskan kesenangan hati, dan peneguhannya akan persembahan dirinya (Padre Pio) kepada-Nya dan pembaktiannya kepada Cinta-Nya.
Doa ini juga merupakan penegasan warisan yang telah dimiliki Gereja lama sebelum Padre Pio tetapi oleh Padre Pio ditandaskan dan ditegaskan ulang kepada para putra-putri rohaninya dan kepada siapa saja yang hendak menghormati Hati Mahakudus Yesus sebagai doa yang amat ampuh.
4.3. Berbagi compassio atau belarasa dan keberpihakan Kristus kepada manusia utamanya yang sakit dan lapar.
Padre Pio dikunjungi oleh banyak orang yang memohonkan doa dan berkat dan menyampaikan intensi yang disampaikan untuk berbagai kepentingan.
Orang sakit baik secara langsung maupun melalui utusan memohonkan doa Padre Pio dan meminta kesembuhan dari Allah. Ada sedemikian banyak orang miskin, orang sakit, orang yang menantikan keturunan dan orang menderita pelbagai persoalan lainnya yang membutuhkan perhatian dan pertolongan. Padre Pio meyakini dan menegaskan bahwa adalah tugas para pengikut Kristus tuntuk saling meringankan penderitaan. Kesaksian banyak orang dari pelbagai negara di dunia mengatakan bahwa Tuhan menjawab doa dan keinginan umat-Nya.
Keyakinan dan nasehat Padre Pio yang didengungkan dan dijadikan sebagai pegangan hidup oleh para anggota kelompok doa dan umat beriman yakni: berdoa, berharap dan jangan khawatir, menjadi semakin nyata oleh tindakan nyata untuk berbagi compassion atau belarasa Kristus kepada orang yang menderita, miskin dan sakit serta aneka pencarian lainnya.
Keyakinan itu tidak saja didoakan dan dimohonkan dari Tuhan tetapi juga mesti menjadi tugas dan harus dilaksanakan oleh murid-murid Kristus.
Padre Pio sendiri, dalam hidupnya, berusaha menolong banyak orang miskin, sakit dan menderita dengan doanya, dengan apa yang ada pada dirinya dan dengan apa yang bisa dilaksanakannya. Nasehatnya di kamar pengakuan, anugerah bilokasi yang dialami dan dirasakan oleh banyak orang bahkan bau harum itu adalah pertanda dan bukti betapa Padre Pio ingin meringankan penderitaan orang dengan sendiri ikut menderita dan kemudian membagikan passio dan compassio Kristus.
Padre Pio sadar bahwa amat banyak orang sakit membutuhkan pengobatan, perawatan dan perhatian. Dia juga adar bahwa dia tidak mungkin melakukan itu, tetapi bersama dengan banyak orang dan dengan belaskasih Tuhan, hal itu dapat diwujudkan. Di situ doa, pengharapan, keberanian dan kebebasan dari rasa takut atau kekhawatiran menjadi sangat berarti.
Di kamar pengakuan, Padre Pio telah melaksanakan amanat Yesus Kristus untuk meringankan penderitaan dan pengampunan dosa serta rekonsiliasi dengan Tuhan. Tetapi selain berhadapan dengan peniten yang meminta nasehat, penitensi dan absolusi, sejak tahun 1920 ribuan orang sakit fisik datang untuk mencari mukjijat dan kesembuhan melalui doa dan sentuhan Padre Pio. Sejak itu Padre Pio mulai berfikir bagaimana untuk meringankan penderitaan orang sakit juga dengan obat yang memadai tetapi sekaligus terjangkau.
Padre Pio mengajak sahabat-sahabatnya dan beberapa pihak mendirikan Rumah Meringankan Penderitaan Orang (Casa Sallievo della Sofferenza) dalam bentuk rumahsakit yang pada saat ini terkenal dan termasuk yang termodern di San Giovanni Rotondo.
Dengan perjalanan yang sangat mencengangkan rumahsakit itu akhirnya diselesaikan dengan bantuan dari berbagai pihak. Banyak orang memberikan sumbangan dari yang amat kecil sampai kepada jumlah yang besar.
Rumahsakit itu sangat luas dan diperlengkapi dengan berbagai alat yang dibutuhkan dan untuk waktu lama rumahsakit ini adalah rumahsakit terbesar di Italia Selatan dengan peralatan yang sangat modern dan pertama-tama diperuntukkan bagi kalangan yang kurang mampu.
Demikian Padre Pio terus menerus menolong orang dan meringankan derita orang.
5. Relevansi spiritualitas Padre Pio
Lalu apa relevansi spiritualitas Padre Pio untuk masa ini?
Pertama-tama pertanyaan ini harus didekati dengan mencermati fakta betapa banyaknya kelompok doa Padre Pio yang tersebar di seluruh dunia yang berusaha menjabarkan legacy Padre Pio dalam ketiga aspek yang disebut di atas.
Padre Pio sebenarnya bisa saja mendirikan ordo ketiga atau bahkan mendirikan satu kongregasi baru mengingat begitu banyak orang yang kagum dan ingin berbuat baik seperti dia karena memperoleh kebaikan Allah yang luar biasa agar dapat meneruskan dan meluaskan ajaran spiritualitasnya dan keberpiahakan kepada kamu menderita. Pernah memang timbul kecemasannya bagaimana melanjutkan Rumah untuk Meringankan Penderitaan. Mungkin bisa diurus dan .ditangani oleh sejenis ordo ketiga? Namun Padre Pio tidak mendirikan gerakan ordo ketiga apalagi kongregasi baru. Malah kelompok doa yang dikenal sebagai kelompok doa Padre Pio itu muncul secara spontan karena orang pada saat itu melihat bagaimana Padre Pio yang dihina dan mesti menjalani berbagai penekanan, pembatasan dan pengejaran sementara pelayanannya sangat dibutuhkan oleh banyak orang. Kelompok doa itu terbentuk dengan spontan dengan cepat menyebar ke pelbagai penjuru dunia.
Di beberapa tempat dan negara, kelompok menamakan diri sebagai Teman-teman atau sahabat Padre Pio. Kelompok ini tidak mempunyai pedoman apalagi regula atau SOP yang ketat, tetapi para anggota merasa dihubungkan secara intim satu sama lain karena kepribadian, ajaran dan doa-doa yang sedemikian indah dikarang dan ditinggalkan oleh Padre Pio bagi siapa saja ingin menggunakannya.
Kedua, kelompok ini juga selalu melihat diri dan keberadaannya dalam kaitan dengan legacy Padre Pio sebagai putra dan putri Gereja yang taat. Karena itu juga Padre Pio menegaskan bahwa pendamping kelompok doa ini mestilah seorang imam agar kelurusan ajaran dijamin dan tradisi luhur Gereja dipertahankan.
Di mana-mana kelompok ini berusaha untuk menjadi sarana pelayanan pada gereja setampat dan ikut ambilbagian secara aktif dalam menjalankan perutusan gereja.
Mereka mestilah menjalankan sikap hidup yang tidak pernah menyulitkan orang bahkan sedapat mungkin menjadi jalan atau sekurang-kurangnya menunjuk jalan yang baik dan patut ditempuh serta tidak pernah boleh menutup jalan.
Di Jakarta, kelompok ini menamakan diri Komunitas Sahabat Padre Pio (KSPP) Indonesia. Komunitas ini ingin saling menolong dan menguatkan untuk mencintai iman Katolik dan ajaran Gereja serta tradisi yang amat indah dan ada di dalamnya agar dapat bertumbuh bersama menjadi gereja yang sehati dan saling memberdayakan.
Relevansi spiritualitas Padre Pio menjadi nyata dalam pengalaman dan pertumbuhan spiritual para anggota Komunitas Sahabat Padre Pio atau Kelompok Doa Padre Pio.
Relevansinya akhirnya terletak pada kemauan, kemampuan dan praksis komunitas “mengikuti dan mencintai Yesus Kristus yang tersalib dan wafat bagi penebusan dunia, mencintai dan memegang teguh Iman Katolik dan Ajaran Gereja dan berbagi compassio atau belarasa dan keberpihakan Kristus kepada manusia utamanya yang sakit dan lapar”
Itulah legacy Padre Pio yang harus dijabarkan secara konkrit pada situasi dan kemungkinan yang ada. Itu juga menjadi kekhasan dan sumbangan khas komunitas ini dalam hidup menggereja dan hidup bermasyarakat dalam keuskupan setempat dan dalam kesatuan dengan gereja setempat.
Dan dengan sikap dan perbuatan itulah ucapan Padre Pio:” Berdoa, Berharap dan Jangan Khawatir” menjadi inspirasi dan kekuatan yang selalu memberi semangat dan kemudian menjadi kenyataan sesuai kehendak Tuhan. Tuhan selalu memiliki jalan untuk memperhatikan manusia dan menjawab keinginan umat-Nya atas cara-Nya sendiri.
Kita percaya bahwa Padre Pio akan selalu menguatkan kita dan memohonkan kepada Bapa di surga rahmat yang membebaskan kita dan menguatkan kita untuk ikut meringankan penderitaan orang lain.
6. Penutup
Secara rohani Padre Pio tetap berdoa dan memohon kebaikan Allah bagi kita, sebagaimana beliau sendiri semasa hidupnya mengatakan:”Saya akan berdiri pada pintu gerbang surga sampai semua anak-anak rohani saya masuk ke dalamnya.”
Memang, Tuhan senantiasa menyertai umat-Nya menurut cara yang Dia pilih dan tentukan sendiri. Cara dan bentuk yang dipilih Tuhan menyapa dan menemukan kita dalam hidup dan perjuangan Padre Pio sungguh istimewa dan mencengangkan sebagaimana dialami oleh banyak putra-putri rohaninya.
Demikian, kita terus-menerus menemukan Tuhan atau ditemui Tuhan atas cara yang istimewa seperti dilakukan-Naya dalam hidup Padre Pio. Kita sangat dikuatkan oleh doa, nasihat, dan teladannya. Dia menguatkan kita dengan memberikan nasihat berharga ini: “Pray, hope and don’t worry!”
Kepustakaan
Allegri, Renzo, Padre Pio, Man of Hope, edited by Arnoldi Mandaori, 2000
Castelli, Francesco, Padre Pio Under Investigation. The Secret Vatican Files, transl. Lee and Giulietta Bochorn, San Francisco: Ignatius Press, 2011.
Komunitas Sahabat Padre Pio Indonesia, Menemukan Tuhan Dalam Hidup Padre Pio, Bina Media Perintis: Medan, 2011
Carty, Rev. Charles Mortimer, Padre Pio, the Stigmatist, Minnesota: Radio Press Press, 1961.
Jakarta 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar