Selasa, 16 Desember 2014

PRAY HOPE AND DON'T WORRY - PHD 03/2014



Marilah kita selalu berusaha untuk mengasihi Bapa lebih dan lebih lagi.. Hal mengasihi Bapa ini tidak harus tampak sulit bagi kita; sebaliknya, kita harus menganggap diri kita berharga , karena Tuhan Allah tidak membatasi diri-Nya hanya untuk menciptakan kita dan memberitahu kita untuk mengasihi-Nya, tapi Ia memberikan perintah-Nya… Dia memerintahkan kita untuk melakukannya, dan perintah-Nya adalah perintah yang penuh kasih. Dialah yang menanamkan ke dalam hati kita. Ialah yang memberikan kita kemampuan untuk mampu mengasihi-Nya. Dan yang lebih mengejutkan, Dia jugalah yang menjanjikan kita anugerah. Anugerah yang Ia janjikan bukanlah sesuatu yang sementara dan terbatas, melainkan yang abadi; sebagaimana keberadaan-Nya yang abadi. Allah adalah kekal abadi sepanjang masa, dan selama-lamanya.
- St. Pio dari Pietrelcina

Padre Pio – Imam yang Dipenuhi Anugerah Luar Biasa

Pada 22 Agustus 1922, Alberto D’Apolito masuk ke novisiat biara Capuchin di Morcone, Itali, dan memulai tahun-tahun studi menjadi imam. Dalam suatu kesempatan pada masa liburnya, ia menerima izin untuk mengunjungi Padre Pio di San Giovanni Rotondo.
Suatu hari, dalam kunjungannya, Alberto melihat Padre Pio sedang menatap ke luar jendela ke arah gunung yang berada di kejauhan. Alberto menyapa Padre Pio, namun beliau nampaknya tidak mendengarnya. Padre Pio tampak tenggelam dalam pikirannya. Ketika Alberto mendekatinya, Padre Pio bahkan tidak tampak sadar akan kehadirannya. Alberto mencoba mencium tangan Padre Pio, ia menyadari bahwa tangan Padre Pio sangat kaku. Ia mendengar Padre Pio berkata, “Ego te absolve a peccatis tuis” ( Aku membebaskan Anda dari dosa-dosa Anda ). Padre Pio sedang mengucapkan absolusi dalam bahasa Latin, seakan beliau sedang mendengarkan pengakuan dosa seseorang.
Alberto berlari mencari pemimpin biara, Pastor Tommaso. Pastor Tommaso segera menuju jendela di mana Padre Pio sedang berdiri. Padre Pio masih mengulangi rumusan absolusi dalam bahasa Latin,  sementara Pastor Tommaso mendekatinya. Tiba-tiba, tubuh Padre Pio bergetar, seakan beliau baru bangun dari tidur yang lelap. Ia melihat Alberto dan Pastor Tommaso dan menyapa mereka, “Oh, saya tidak sadar bahwa kalian berdua sedang berdiri di samping saya. Saya sedang melihat keluar jendela ke arah pegunungan,” katanya.
Tak beberapa lama kemudian, sebuah telegram datang untuk Pastor Tommaso dari kota Turin. Telegram itu dikirim oleh keluarga dari seorang pria yang baru saja meninggal. Keluarga pria itu menuliskan telegram yang berisi ucapan terima kasih kepada Pastor Tommaso karena telah memperbolehkan Padre Pio meninggalkan biara dan menemani pria itu di saat-saat akhir hidupnya. Kini Pator Tommaso dan Alberto yakin, pada waktu Padre Pio melamun beberapa hari yang lalu, ia sedang mendengarkan pengakuan dosa pria itu dan menemani di saat akhir hidupnya.
---
Maria Pompilio, seorang putri spiritual Padre Pio, bekerja sebagai guru sekolah di San Giovanni Rotondo. Ia menghadiri Misa Padre Pio setiap pagi dan selalu melakukan pengakuan dosa secara rutin. Selama bertahun-tahun, ia menerima banyak berkat melalui relasi dengan Padre Pio.
Suatu ketika di Malam Natal, Padre Pio pergi ke sakristi gereja untuk mendengarkan pengakuan dosa. Malam itu suhu udara sangat dingin. Karena pada saat itu belum ada pemanas ruangan di biara, sebuah tungku diletakkan di sakristi untuk mengusir dingin.
Ketika Padre Pio sedang mendengarkan pengakuan dosa, Maria Pompilio dan beberapa perempuan yang lain masuk ke gereja untuk berdoa. Setelah pengakuan dosa selesai, Maria dan beberapa wanita lainnya pergi ke sakristi untuk menemui Padre Pio dan mencium tangannya. Maria menyadari bahwa tangan Padre Pio sedingin es. Padre Pio menyapa putrid-putri spiritualnya dan berkata kepada mereka, “Semoga Kanak-Kanak Yesus membuatmu merasakan rahmat dan belas kasih-Nya.” “Malam ini cuaca sangat dingin, Padre Pio,” kata salah satu dari putri rohaninya. “Tolong berbicaralah pada kami untuk beberapa saat. Ceritakan kepada kami tentang Bayi Yesus dan isilah hati kami dengan kehangatan cinta kasih-Nya.”
Padre Pio lalu mengajak putri-putri spiritualnya ke ruang tamu biara. Di ruangan itu terdapat meja panjang dengan kursi yang cukup banyak bagi mereka untuk duduk dengan nyaman. Padre Pio bercerita tentang Misteri Natal dan berkata, “Putriku, marilah kita merenungkan Injil Yohanes. Yohanes, murid yang dikasihi Yesus berkata:  Sabda telah menjadi manusia dan diam di antara kita.” Mata Padre Pio tampak berkaca-kaca ketika ia mengutip kata-kata Yohanes dari kitab suci. Ia berhenti beberapa saat untuk menghapus air matanya, kemudian kembali melanjutkan. Beliau bercerita tentang kelahiran Bayi Yesus, tentang bagaimana Yesus lahir di musim terdingin sepanjang tahun, dan di tengah malam. Di antara beberapa ternak lainnya, Bayi Yesus dibaringkan di palungan. Maria dan Yosef menyambutnya dengan penuh cinta kasih sebagaimana malaikat-malaikat di surga bersukacita.
Tiba-tiba Padre Pio menutup matanya dan berhenti berbicara. “Padre Pio telah jatuh tertidur,” salah seorang perempuan berkata. “Beliau telah menerima pengakuan dosa sepanjang hari dan beliau lelah. Mari kita tidak berisik dan berdoa hingga beliau bangun.” Saya tidak berpikir dia sedang tidur”, ucap perempuan lainnya. “Ini adalah Malam Natal. Saya percaya bahwa Padre Pio sedang berbicara dengan Yesus sekarang. Ini kehormatan bagi kita untuk duduk di sini bersamanya,”
Sekitar 30 menit kemudian, Padre Pio membuka matanya.Salah seorang putri spiritual berkata kepada-Nya, “Padre Pio, anda terdiam untuk waktu yang lama. Karena ini adalah Malam Natal, kami menduga apakah Anda sedang bertemu dengan Bayi Yesus?” Padre Pio tidak menjawab. Seorang perempuan lain berkata, “Padre Pio, tolong ceritakan pengalaman Anda selama duduk dan menutup mata tadi.” Padre Pio menjawab, “Jika kalian berjanji tidak mengatakan apa-apa tentangnya sampai setelah kematianku, aku akan memberitahumu.” Para perempuan lalu menjawab dengan serentak, ”Kami berjanji tidak akan memberi tahu siapa-siapa.”
Padre Pio lalu memberitahu para perempuan tersebut, “Tuhan mengizinkan saya mengucapkan selamat Natal kepada saudara saya Michael yang sekarang berada di Amerika, juga kepada saudari saya, Suster Pia, di biaranya di Roma. Lalu Yesus menunjukkan kepada saya semua anak-anak spiritual saya yang sudah meninggal dunia dan saya melihat tempat mereka berdiam di surga.” Para perempuan itu sangat terinspirasi oleh kata-kata Padre Pio..
Tak lama kemudian adalah waktunya bagi Padre Pio untuk mempersiapkan Misa Malam Natal. Lilin-lilin menyinari dengan lembut gedung gereja Bunda Maria Terberkati. Gereja itu tampak begitu indah.. Ketika Misa dimulai, Padre Pio dengan menggendong patung Bayi Yesus, berjalan dengan tenang menuju palungan Natal. Bersama dengan koor, para imam Capuchin, dan semua kongregasi, beliau menyanyikan lagu-lagu Natal dan mempersembahkan pujian kepada Allah. Hati setiap orang disinari dengan api cinta kasih Allah…
Setelah Misa Malam Natal, sebelum beristirahat di kamarnya, Padre Pio berkata kepada putri-putri spiritualnya, “Malam ini surga terbuka dan banyak rahmat yang telah turun ke hati kalian.”  Mereka sungguh terberkati…
---
Pada 1966, Pastor Jean Derobert melakukan perjalanan ke San Giovanni Rotondo untuk bertemu dengan Padre Pio. Padre Pio memberitahu Pastor Derobert bahwa beliau ingin ia memulai kelompok doa di Paris. Pada masa itu, Pastor Derobert adalah pastor pembimbing di sebuah perguruan tinggi yang terletak di pinggiran kota Paris. Pator Derobert khawatir akan ide membangun kelompok doa tersebut. Salah satunya adalah karena ia tidak mengenal banyak orang di Paris. Tanpa jumlah kontak yang cukup, ia tidak melihat bahwa ia mampu mengajak orang-orang di daerah itu. Pikiran tentang mengorganisir kelompok doa saja membuatnya takut.
Namun Padre Pio tidak khawatir dengan ketakutan Pastor Derobert. Beliau hanya tersenyum dan berkata, “Saya akan membantu anda.” Ketika Pastor Derobert kembali ke Perancis, ia memberitahu temannya tentang percakapannya  dengan Padre Pio. Temannya sangat bersemangat tentang prospek adanya kelompok doa di Paris. “Padre Pio telah mengirim saya ke sini untuk membantumu,” kata teman tersebut. “Saya yakin akan hal itu.” Pastor Derobert tidak bisa lebih terkejut lagi.
Pastor Derobert dan temannya segera menemukan sebuah kapel yang indah di Paris yang mengizinkan mereka mengadakan pertemuan doa bulanan. Sejak awal, orang dalam jumlah besar menunjukkan rasa tertarik dan datang ke pertemuan doa secara regular. Semuanya berkembang dengan amat baik.
Setahun kemudian, Pastor Derobert kembali ke San Giovanni Rotondo. Begitu Padre Pio melihatnya, dia segera bercerita tentang kelompok doanya. Padre Pio mendengarkan dengan seksama selagi Pastor Derobert memberikan laporan lengkapnya, lalu berkata, “Saya mengenal kelompok doa itu dengan baik. Ada beberapa jiwa yang sangat indah yang hadir di sana. Saya sering berkunjung ke sana.” Lalu Padre Pio mendeskripsikan dengan detail, kapel indah tempat kelompok doa tersebut biasa bertemu setiap bulan. Kenyataannya, banyak anggota kelompok doa yang memberitahu Pastor Derobert bahwa mereka sering merasakan keberadaan Padre Pio dalam pertemuan bulanan mereka. Sebelum Pastor Derobert kembali ke Paris, Padre Pio menasihatinya, “Jangan lakukan hal lain selain berdoa.”
---
Monsinyur John Gannon mengenal seorang anggota angkatan laut yang sudah pensiun yang tinggal di Washington, D.C. Pria itu sudah melakukan percobaan bunuh diri dalam dua kesempatan berbeda. Monsinyur Gannon, yang berdevosi sangat kuat kepada Padre Pio, menyarankan pria itu untuk berdoa kepada Padre Pio dan meminta bantuannya. Ia memberikan kartu doa Padre Pio pada pria itu. Pria itu mengikuti nasihat Monsinyur Gannon dan secara rutin mendaraskan doa kepada Padre Pio.
Suatu malam, pria itu datang ke bar. Dengan perasaan putus asa, ia mulai berpikir sekali lagi untuk mengakhiri hidupnya. Ada seorang pria berjanggut di bar itu yang menghampiri dan menyapanya. “Saya tahu apa yang akan anda lakukan malam ini. Jangan lakukan hal itu!” kata orang asing itu. Teman Monsinyur Gannon ini lalu bertanya siapakah nama pria asing ini. Jawaban pria ini adalah gumaman yang terdengar seperti “Pio”. Malam itu, pria tersebut tidak melakukan percobaan bunuh diri. Terima kasih kepada Tuhan ! Pria ini yakin bahwa pada malam itu Padre Pio mengunjungi dan menolongnya di saat-saat paling gelap dalam hidupnya…
---
Giuseppe Massa sedang belajar teologi di Roma untuk persiapannya imamatna ketika ia jatuh sakit. Ibunya sangat khawatir akan keadaannya. Suatu hari, sang ibu, yang tinggal di San Giovanni Rotondo, berbicara kepada Padre Pio tentang penyakit Giuseppe dan meminta Padre Pio mendoakan putranya.
Giuseppe segera pulih , dan mampu melanjutkan studi untuk imamatnya. Hari itu adalah hari yang besar bagi seluruh keluarga Massa ketika Giuseppe ditahbiskan menjadi imam Salesian. Pada saat pentahbisannya, Padre Pio menuliskan pesan pribadi yang bertuliskan, “Saya berdoa semoga anda menjadi seorang imam yang kudus dan korban yang sempurna.” Pastor Giuseppe menyimpan pesan tulisan tangan tersebut dengan baik. Tak lama setelah pentahbisannya, Pastor Giuseppe jatuh sakit. Demam tinggi dan rasa lemah yang dulu dirasakannya dating lagi. Ia didiagnosa menderita penyakit ginjal dan diberitahu harus menjalani operasi.
Dokter mengatakan kepada ibunda Pastor Giuseppe bahwa jika memungkinkan, sang ibunda sebaiknya berkunjung ke Roma dan menjaga putranya saat dioperasi. Nyonya Massa tahu bahwa akan sangat sulit baginya untuk melakukan perjalanan ke Roma. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia pergi ke biara dan meminta saran kepada Padre Pio. “Anda sudah memiliki lima orang anak lain yang harus diperhatikan. Anda sebaiknya tidak melakukan perjalanan ke Roma,” ucap Padre Pio. “Namun saya rasa Pastor Giuseppe menginginkan saya untuk berada di sana ketika ia menjalani operasi. Bagaimana ia bisa bertahan tanpa saya?” jawab Nyonya Massa. Lalu ia mulai menangis. Melihat Nyonya Massa yang begitu putus asa, Padre Pio merasa sangat kasihan padanya. “Jika anda bilang saya tidak bisa berada di Roma untuk menemani putra saya, maka saya ingin anda berada disana menggantikan saya,” ucap Nyonya Massa. “Oh, baiklah,” jawab Padre Pio. “Saya akan pergi.”
Setelah Pastor Giuseppe dioperasi, kesehatannya terus membaik. Ia memberitahu ibundanya bahwa ketika ia berada di rumah sakit, Padre Pio datang dan berdiri di samping ranjangnya. Ketika Pastor Giuseppe mendapat kesempatan, ia berkunjung ke San Giovanni Rotondo dan menemui Padre Pio. Ia mengucapkan terima kasih kepada Padre Pio atas kunjungannya di saat ia membutuhkannya.
Kesehatan Pastor Giuseppe terus membaik. Ia hidup untuk lima puluh tahun ke depan. Mendedikasikan waktu dan karyanya untuk pendidikan rohani anak-anak muda, beliau menolong banyak jiwa melalui pelayanan imamatnya. Ia benar-benar menjadi imam yang kudus, sesuai dengan doa Padre Pio untuknya saat ditahbiskan…
---
Giovanni Gigliozzi, seorang jurnalis, penulis, dan penyiar radio terkenal, bekerja dan tinggal di Roma. Giovanni memiliki kasih yang besar terhadap Padre Pio, dan sebaliknya, Padre Pio juga memiliki kasih yang besar kepadanya. Refleksi rohani Giovanni yang indah dan tulisan-tulisannya disajikan dalam beberapa publikasi awal yang dikeluarkan oleh biara Bunda yang Terberkati di San Giovanni Rotondo. Giovanni selalu menunggu untuk bertemu dan menghadiri Misa yang dipimpin oleh Padre Pio kapan pun ia memiliki waktu senggang.
Untuk waktu yang lama, Giovanni mengalami sakit kepala migren (sakit kepala sebelah). Dalam sebuah kesempatan, sesaat sebelum ia melakukan siaran radio di Roma, ia mengalami migren berat. Ia tahu dari pengalaman, bahwa sakit kepala ini akan terus berlangsung untuk waktu yang lama. Ia memberitahu direkturnya bahwa ia tidak dapat menjalani siaran di hari itu. “Namun anda tetap harus menjalankan program itu !” begitu kata sang direktur. “Kita tidak memiliki orang yang bisa menggantikan anda.” Direktur membawanya ke ruangan yang memiliki sebuah dipan. Sang direktur menyuruh Giovanni untuk berbaring dan beristirahat, dengan harapan sakit kepalanya akan menghilang. Giovanni mengikuti saran ini, meregangkan tubuh, menutup mata, dan berusaha untuk rileks.
Selagi berbaring, Giovanni tiba-tiba mendengar suara asing yang terdengar seperti suara biji Rosario yang bersentuhan. Lalu ia mendengar suara jejak kaki. Ia membuka matanya dan sangat terkejut; ia melihat Padre Pio berdiri di sampingnya ! Padre Pio sedang menatap Giovanni dalam-dalam. Giovanni sangat terkejut dengan kemunculan tiba-tiba Padre Pio sehingga ia berteriak. Dalam pikirannya, ia membayangkan ajal sudah dekat sehingga Padre Pio datang ke sana dan bertujuan membimbingnya ke dunia selanjutnya. Padre Pio tersenyum dan meletakkan tangannya di kepala Giovanni untuk memberi berkat. Segera setelahnya, beliau menghilang. Giovanni lalu menyadari bahwa migren yang menganggunya sudah hilang. Ia dapat melanjutkan jadwal siaran radionya hari itu.
Dalam kesempatan selanjutnya Giovanni mengunjungi biara Bunda yang Terberkati, Padre Pio menyambutnya dan berkata, “Omong-omong, bagaimana sakit kepala yang mengganggumu?” “Saya merasa benar-benar sehat sekarang, terima kasih karena menemani saya saat itu,” jawab Giovanni. “Oohhh, itu cuma halusinasi,” jawab Padre Pio sambil tersenyum. Ini merupakan cara Padre Pio  membenarkan Giovanni bahwa beliau memang datang menyembuhkan Giovanni.
Walaupun saya diberikan kehormatan dengan keberadaannya untuk waktu yang lama, secara garis besar saya tidak tahu apa-apa tentang Padre Pio… Dan jika saya tidak memahami beliau, percayalah, tidak semuanya karena salah saya. Padre Pio memiliki talenta khusus untuk menyembunyikan dirinya. Beliau sangat rendah hati, namun dengan penuh kecerdikan, saya berani berkata, dengan keceriaan. Walaupun beliau memiliki begitu banyak kebajikan, beliau tidak pernah membebani orang-orang yang ada di sekitarnya. –Giovanni Gigliozzi
---
Martha Gemsch telah mendevosikan diri kepada Padre Pio untuk waktu yang lama. Martha memiliki saudari bernama Lisa yang berencana melakukan perjalanan misi. Lisa, yang adalah seorang teknisi x-ray, adalah seorang yang memiliki belask kasih yang besar terhadap sesama. Lisa ingin membawa teknologi modern dalam profesinya ke India dan negara dunia ketiga lainnya. Ia berbicara kepada Padre Pio tentang rencananya, Padre Pio menasehati untuk tidak melakukan rencananya itu. Tetapi ia tidak mengindahkan saran Padre Pio dan tetap mengikuti kata hatinya.
Lisa sedang berada di kota Dar es Salaam di Afrika Timur ketika ia mengalami kecelakaan parah. Ia meninggal di rumah sakit sehari setelah kecelakaan. Hari Lisa meninggal adalah hari pertama Padre Pio mulai menerima pengakuan dosa lagi setelah masa vakumnya yang cukup lama karena sakit. Hari itu, Martha, saudari Lisa, berada di biara Bunda segala Rahmat. Ia menyadari bahwa Padre Pio tampak tidak seperti dirinya. Beliau cenderung diam sepanjang hari dan nampak sedih.
Menurut dokter, Lisa meninggal dengan senyum di wajahnya, walaupun ia meninggal sendirian tanpa ditemani keluarga atau temannya. Seorang biarawati yang bekerja di rumah sakit berbicara kepada Martha, bahwa Padre Pio telah datang mengunjungi Lisa dalam bilokasi. Padre Pio berkata kepada Martha, “Saya merasa sangat sedih atas apa yang terjadi kepada Lisa, namun saya berada di sana untuk menemaninya,” Martha sangat terhibur mengetahui bahwa saudarinya ditemani oleh Padre Pio dalam sakrat mautnya..
---
Tony Collete dari Houston yang berusia 20 tahun mengalami penyakit langka yang menyerang otot dan sistem sarafnya. Ia hidup dalam rasa sakit yang berkepanjangan. Ia menggunakan penahan di kedua kaki dan punggungnya yang lemah. Walaupun dengan bantuan penopang, sangat sulit bagi Tony untuk berjalan. Ia telah melalui beberapa operasi, namun kondisinya tidak membaik. Dokter akhirnya memberitahu Tony bahwa tidak ada hal lain yang dapat dilakukan untuk memperbaiki kondisinya.
Pada tahun 1973, Tony melihat seorang biarawan Capuchin masuk ke dalam ruangannya. Ia mengenali biarawan itu sebagai Padre Pio. Ia memiliki devosi yang kuat terhadap Padre Pio dan telah berdoa mohon pertolongannya dalam beberapa tahun ini. Padre Pio tersenyum kepada Tony dan berkata, “Saya ingin membantumu. Jangan takut,” Pada saat itu, Tony merasakan getaran yang sangat kuat di seluruh tubuhnya. Ia merasakan keberadaan Tuhan di ruangan itu. Lalu ia menyadari bahwa ia tidak lagi merasakan sakit. Tony disembuhkan dari penyakitnya secara permanen.
---
Padre Pio dan teman-teman dari Irlandia
Pada 1867, bruder Fransiskan Pius McLaughlin dari Derry, Irlandia menerima kehormatan untuk menghadiri Rapat Umum Ordo Fransiskan yang diadakan di Assisi, Italia. Tanggung jawabnya menjadi penterjemah para Provinsial  dari negara yang berbahasa Inggris yang datang dari berbagai belahan dunia.
Satu hari, tiga dari provinsial tersebut ingin menemui Padre Pio dan meminta Bruder Pius untuk membuatkan perjanjian. Ia berkunjung ke San Giovanni Rotondo bersama mereka dan diajak bermalam di biara. Bruder Pius mendapat kesempatan untuk melakukan pengakuan dosa kepada Padre Pio; sebuah pengalaman yang ia katakan “mengubah hidupnya selamanya”.
Setelah Bruder Pius selesai dengan pengakuannya, terdapat jeda hening yang cukup lama. Akhirnya Padre Pio berkata kepadanya, “Anda tidak memberitahu saya bahwa anda adalah bruder Fransiskan,” Bruder Pius sangat terkejut akan kata-katanya. Tidak terpikir baginya untuk memberitahu Padre Pio bahwa ia adalah seorang bruder, bukan karena ia ingin menutupinya. Kenyataan bahwa Padre Pio mengetahuinya membuatnya terkejut.
Kemudian Padre Pio berkata, “Maukah anda mengatakan kepada saya masalah anda dan apa yang akan anda lakukan terhadapnya?” Bruder Pius tidak yakin akan apa yang dibicarakan Padre Pio dan masih kehilangan kata-kata. Ia mulai berkeringat dingin dan ketakutan. Akhirnya ia berkata, “Saya tidak memiliki masalah.” Padre Pio menjawab dengan berkata, “Namun anda memiliki masalah.” Bruder Pius kembali mengulangi bahwa ia tidak memiliki masalah, namun Padre Pio kembali menjawab kalau ia memiliki masalah. Tiba-tiba, muncul di kepala Bruder Pius sebuah pikiran, “Sebenarnya, ada sesuatu yang telah mengusik saya. Selama ini saya ingin menjadi pastor, namun saya khawatir saya akan ditolak.”
Padre Pio mendukung Bruder Pius akan panggilannya, dan berkata, “Berdoalah kepada Bapa dengan sepenuh hatimu dan mintalah bimbingan-Nya. Saya menyarankan agar anda bertanya kepada superior anda.” Minggu depannya, Bruder Pius kembali ke Assisi untuk bicara kepada superiornya tentang keinginannya belajar menjadi seorang Imam. Sang superior terkejut dan menjelaskan kepada Bruder Pius bahwa mungkin akan ada kendala yang menghalanginya. Akan ada pula tahun-tahun panjang untuk studi. Di provinsi Irlandia tempat Bruder Pius ditugaskan belum ada bruder yang menjadi pastor yang ditahbiskan. Bruder Pius sangat terdorong untuk melakukan yang terbaik. Ia diterima di seminari dan memulai studinya. Ia ditahbiskan menjadi pastor Fransiskan pada tahun 1973.
---
Sebuah Doa
Bapa yang terkasih, bantulah saya melepaskan dari pikiran saya, semua pemikiran, pendapat, dan perasaan  yang tidak berkenan bagi-Mu. Berkatilah  agar saya dapat mengisi hari-hari dengan bekerja dengan sukacita sesuai dengan kehendak-Mu. Bantulah dan sertai saya hari ini : dalam jam kerja yang panjang, agar saya tidak menjadi lemah dan  lelah melayani-Mu. Dalam percakapan, jauhkan dari percakapan yang buruk. Di saat ada kekhawatiran dan kekecewaan, agar saya dapat bersabar terhadap diri saya sendiri dan orang-orang di sekitar saya. Di saat-saat kelelahan dan sakit, supaya saya senantiasa memikirkan orang lain ketimbang diri saya sendiri. Di dalam godaan, berkatilah supaya saya tetap setia, supaya ketika hari berakhir, saya diperbolehkan berbaring di  kaki-Mu, bersama segala keberhasilan yang adalah milikMu, dan dengan semua kegagalan saya, bantulah agar saya menyadari hidup itu adalah nyata, penuh kedamaian serta penuh berkat saat kujalani bersama Engkau yang selalu bersemayam di hati ku…. Amin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar