|
SURAT
APOSTOLIK
YANG
DITERBITKAN SEBAGAI “MOTU PROPRIO”
“PINTU KEPADA IMAN”
DARI BAPA
SUCI
BENEDIKTUS XVI
UNTUK
MENCANANGKAN TAHUN IMAN
1. “Pintu kepada Iman” (Kis. 14:27) senantiasa
terbuka bagi kita, memasukkan kita ke dalam persekutuan hidup dengan Allah
dan memberi tawaran untuk masuk ke dalam Gereja-Nya. Melintasi ambang pintu
ini dimungkinkan apabila Sabda Allah diwartakan dan hati manusia membiarkan
dirinya dibentuk oleh rakhmat yang senantiasa mampu mengubah. Memasuki pintu
itu berarti memulai suatu perjalanan yang akan berlangsung seumur hidup. Ia
mulai dengan baptisan (bdk. Rom. 6:4), dengan mana kita dapat menyebut Allah
sebagai Bapa kita, dan perjalanan itu akan berakhir dengan kematian yang
memasukkan kita ke kehidupan kekal, buah dari kebangkitan Tuhan Yesus, yang,
dengan anugerah Roh Kudus, memang berkehendak menarik semua orang yang
percaya kepada-Nya untuk masuk ke dalam kemuliaan-Nya (bdk. Yoh. 17:22).
Beriman kepada Tritunggal –Bapa, Putra dan Roh Kudus– adalah percaya kepada
Allah yang mahaesa yang adalah kasih (bdk. 1Yoh. 4:8), yaitu: Bapa, yang
dalam kepenuhan waktu telah mengutus Putra-Nya untuk menyelamatkan kita,
yakni Yesus Kristus, yang melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya telah
menebus dunia; Roh Kudus, yang membimbing Gereja mengarungi jaman sambil
menantikan kedatangan Tuhan yang akan datang kembali dalam kemuliaan.
2. Sejak mulai memangku jabatan sebagai Pengganti
Petrus, saya telah berbicara tentang perlunya menemukan kembali perjalanan
iman kita itu, agar supaya ia dapat memberikan pencerahan yang lebih jelas
atas kegembiraan dan semangat yang senantiasa diperbarui dari perjumpaan kita
dengan Kristus. Dalam homili yang saya sampaikan pada Misa pentakhtaan saya
sebagai Paus saya mengatakan: “Gereja, secara keseluruhan, bersama
dengan semua pastor-pastornya, seperti Kristus, harus bergerak untuk
membimbing umat keluar dari pada gurun, menuju ke tempat kehidupan, ke dalam
persahabatan dengan Putra Allah, kepada Dia, Sang Pemberi kehidupan, bahkan
kehidupan yang berkelimpahan”.[1]
Sering sekali terjadi, bahwa Umat Kristiani lebih menaruh perhatian kepada
konsekwensi-konsekwensi sosial, budaya dan politis dari komitmen mereka,
karena mereka berpendapat bahwa iman-keprcayaan akan dengan sendirinya
menyatakan diri secara kentara di dalam kehidupan bermasyarakat. Padahal
kenyataannya, anggapan sedemikian itu bukan saja tidak bisa diandaikan
terjadi dengan sendirinya, tetapi cukup sering bahkan secara terang-terangan
diingkari[2].
Sementara di masa lampau sangat mungkin orang dapat mengenal kembali suatu
matriks kemasyarakatan yang mempersatukan, yang secara luas diterima sebagai
daya tarik kepada isi iman-kepercayaan dan nilai-nilai yang lahir dari sana,
tetapi di masa sekarang ini rupanya hal itu tidak terjadi lagi pada
kelompok-kelompok masyarakat luas dan itu adalah akibat dari adanya krisis
iman yang mendalam yang telah menimpa banyak bangsa.
3. Kita tidak dapat menerima bahwa garam menjadi
tawar atau bahwa pelita ditaruh di bawah gantang (lih. Mat. 5:13-16).
Orang-orang jaman sekarangpun masih bisa mengalami kebutuhan pergi ke sumur,
seperti wanita Smaria, untuk mendengar Yesus mengundang kita untuk percaya
kepada-Nya serta menimba dari sumber air hidup yang memancar keluar dari
dalam diri-Nya (lih. Yoh. 4:14). Kita harus menemukan kembali cita-rasa
sedapnya menyantap sabda Allah, yang dengan setia telah diserah-alihkan
kepada Gereja, dan atas roti kehidupan yang telah diserahkan bagi kehidupan
para murid-Nya (bdk. Yoh. 6:51). Sungguh, pada jaman inipun ajaran Yesus
masih tetap bergema kuat: “Bekerjalah, bukan untuk makanan yang akan dapat
binasa, melainkan untuk makanan yang bertahan sampai kepada hidup yang kekal”
(Yoh. 6:27), Bahkan pertanyaan yang kita ajukan sekarangpun masih sama dengan
pertanyaan yang diajukan oleh para pendengar pada waktu itu: "Apakah
yang harus kami perbuat, supaya kami mengerjakan pekerjaan yang dikehendaki
Allah?" (Yoh. 6:28). Kita mengetahui jawaban Yesus: ”Inilah pekerjaan yang dikehendaki
Allah, yaitu hendaklah kamu percaya kepada Dia yang telah diutus Allah” (Yoh
6:29). Maka percaya kepada Yesus Kristus
adalah jalan untuk sampai dengan pasti kepada keselamatan.
4. Atas dasar itu semua maka saya telah mengambil
keputusan untuk mencanangkan suatu Tahun Iman. Tahun itu akan dimulai pada
tanggal 11 Oktober 2012, yakni hari ulang tahun yang ke limapuluh dari
pembukaan Konsili Vatikan II, dan akan ditutup pada Hari Raya Tuhan kita
Yesus Kristus Raja Semesta Alam, pada tanggal 24 November 2013. Tanggal yang
mengawali Tahun Iman itu, 11 Oktober 2012, merupakan juga hari ulang tahun
yang ke duapuluh dari publikasi buku Katekismus
Gereja Katolik, sebuah naskah yang sudah dipromulgasikan oleh pendahulu
saya, Beato Yoahnes Paulus II[3],
dengan maksud untuk memberikan kepada segenap umat beriman gambaran tentang
kekuatan dan keindahan iman-kepercayaan kita. Dokumen tersebut, sebagai buah
yang otentik dari Konsili Vatikan II, telah diminta oleh Synode Luar-biasa
Para Uskup pada tahun 1985 untuk dijadikan sarana-bantu bagi pelayanan
Katekese[4] dan
telah diterbitkan dalam kerja-sama dengan semua Uskup dalam Gereja
Katolik. Tambahan pula, tema dari
Sidang Umum Synode Para Uskup yang telah saya undang untuk bulan Oktber 2012
yang akan datang ini adalah: “Evangelisasi Baru untuk Menyiarkan Iman
Kristiani”. Hal itu akan menjadi kesempatan yang baik untuk untuk menghantar
masuk segenap Gereja ke dalam suasana refleksi yang khusus dan menemukan
kembali iman-kepercayaannya. Ini bukan yang pertama kalinya Gereja dipanggil
untuk merayakan suatu Tahun Iman. Pendahulu saya yang Mulia Hamba Tuhan Paus
Paulus VI pernah memaklumkan itu pada tahun 1976, untuk memperingati
kemartiran santo Petrus dan Santo Paulus pada peringatan sembilan belas abad
tindakan yang paling luhur dari kesaksian mereka. Menurut hemat Beliau iulah
saat yang paling mulia bagi seluruh Gereja untuk menyatakan “suatu pengakuan
yang otentik dan tulus dari iman-kepercayaan yang sama”. Apalagi beliau
menghendaki bahwa hal itu masih dikuatkan lagi dengan cara “baik pribadi
maupun bersama-sama, baik secara bebas namun bertanggngjawab, baik secara
lahir maupun secara batin, dengan rendah hati dan berterus-terang”[5].
Beliau berpendapat, bahwa dengan cara demikian
seluruh Gereja dapat memulihkan kembali “pemahaman yang tepat atas
iman-kepercayaan itu, sehingga dengan demikian juga menguatkannya,
memurnikannya, mengukuhkannya dan mengakuinya”[6].
Perayaan besar-besaran tahun itu semakin menunjukkan betapa umat memang
membutuhkan perayaan semacam itu. Upacara penutupannya dengan Pengakuan Iman Umat Allah[7]
dimaksudkan untuk menunjukkan, betapa muatan hakiki iman itu yang selama
berabad-abad telah membentuk warisan segenap orang yang percaya itu, perlu
ditegaskan, dipahami dan diselidiki lagi secara baru, agar supaya kesaksian
iman itu menjadi konsisten dengan hal-ikhwal sejarah semasa yang berbeda
sekali dengan yang dari masa lampau.
5. Dalam arti tertentu, Yang Mulia Pendahulu saya
itu melihat Tahun Iman ini sebagai suatu “konsekwensi dan kebutuhan dari masa
pasca konsili”[8],
sambil menyadari sepenuhnya tentang kesukaran-kesukaran jaman yang serius,
teristimewa yang berkaitan dengan pengakuan iman yang sejati dan
penafsirannya yang benar. Menurut hemat saya timing peluncuran Tahun Iman yang bertepatan dengan ulang tahun
ke lima-puluh pembukaan Konsili Vatikan II itu akan memberikan kesempatan
yang sangat bagus dalam membantu umat untuk memahami, bahwa naskah dokumen
yang telah diwariskan oleh para Bapa Konsili itu, dengan kata-kata Beato
Yohanes Paulus II, “sama sekali belum
kehilangan nilai dan kecemerlangannya”. Naskah-naskah itu perlu dibaca
dengan benar, ditangkap dengan akal budi secara luas dan dicamkan di dalam
hati secara mendalam sebagai dokumen yang penting dan mengikat dari Magisterium Gereja sendiri, semuanya
di dalam jalur Traidisi Gereja … Saya sendiri merasa lebih berkewajiban untuk
menunjukkan kepada Konsili itu sebagai rakhmat
agung yang dicurahkan Allah kepada Gereja Abad Keduapuluh itu, di mana
kita dapat menemukan suatu penunjuk arah yang pasti agar kita dapat memikul
beban hidup dalam abad yang sekarang baru akan mulai itu”[9].
Saya juga ingin menekankan dengan sangat sekali lagi, apa yang sudah saya
katakan tentang konsili ini beberapa bulan setelah saya terpilih sebagai
Pengganti Petrus: ”Apabila kita menafsirkan dan mengimplementasikan Konsili
itu dengan bimbingan suatu hermeneutika yang benar, maka Konsili itu bisa dan
memang akan menjadi semakin berdaya bagi pembaharuan Gereja yang senantiasa
diperlukan itu”[10].
6.
Pembaruan Gereja juga bisa dilaksanakan melalui kesaksian yang diberikan oleh
hidup umat beriman: yakni justru melalui cara-mengada mereka di dunia ini,
Umat Kristiani dipanggil untuk memancarkan sabda kebenaran yang diwariskan
Tuhan kepada kita. Konsili sendiri, dalam Konstitusi Dogmatik Lumen Gentium, mengatakan ini: “Sedangkan Kristus, yang “suci,
tanpa kesalahan, tanpa noda” (Ibr 7:26), tidak mengenal dosa (lih. 2Kor.
5:21), melainkan datang hanya untuk menebus dosa-dosa umat (lih Ibr 2:17),
Gereja merangkum pendosa-pendosa dalam pangkuannya sendiri. Gereja itu suci,
dan sekaligus harus selalu dibersihkan, serta terus-menerus menjalankan
pertobatan dan pembaharuan. Gereja “bagaikab seorang asing di tana asing
pula, di antara penganiayaan dunia dan hiburan yang diterimanya dari Allah
Gereja tetap mendesak maju, sambil mewartakan salib dan wafat Tuhan hingga Ia
datang (lih 1Kor. 11:26). Tetapi oleh kuasa Tuhan yang telah bangkit, Gereja
dieri kekuatan untuk mengalahkan sengsara dan kesulitannya, baik yang dari
dalam maupun yang dari luar, sehingga dengan kesabaran dan cinta-kasih, ia
dapat mewahyukan di dunia ini dengan setia, meskipun masih dalam
bayang-bayang kegelapan, misteri Tuhannya, sampai ditampakkan pada akhir
zaman dalam cahaya yang penuh[11].
Dalam
perspektif ini maka Tahun Suci itu adalah suatu panggilan kepada suatu
pertobatan yang otentik dan baru lagi, kembali kepada Tuhan, satu-satunya
Juruselamat dunia. Melalui misteri wafat dan kebangkitan-Nya, Allah telah
menyatakan di dalam kepenuhannya kasih yang menyelamatkan dan memanggil kita
kepada pertobatan hidup melalui pengampunan dosa (lih. Kis. 5:31). Bagi Santo
Paulus, kasih ini memasukkan kita ke dalam suatu kehidupan baru: “Kita telah
dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam kematian, supaya, sama
seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati oleh kemuliaan
Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang baru” (Rom. 6:4).
Melalui iman-kepercayaan, hidup yang baru ini membentuk seluruh keberadaan
manusiawi kita dari akar-akarnya sesuai dengan keadaan baru sebagai buah
kebangkitan. Sejauh manusia dengan bebas bekerja-sama, maka pikiran dan
perasaan-perasaannya, mentalitas dan perilakunya sedikit demi sedikit akan
dimurnikan dan ditransformasikan, dalam suatu perjalanan yang tidak akan
pernah sepenuhnya selesai di dalam hidup ini. “Iman yang bekerja oleh kasih”
(Gal. 5:6) akan menjadi kriteria baru bagi pemahaman dan tindakan yang
mengubah seluruh hidup manusia (bdk. Rom. 12:2; Kol. 3:9-10; Ef. 4:20-29;
2Kor. 5:17).
7. “Kasih Kristus menguasai kita” (2Kor. 5:14): Kasih Kristuslah yang
memenuhi hati kita dan mendorong kita unutk berevangelisasi. Sekarang ini,
seperti juga dulu, Kristus mengutus kita ke lorong-lorong dunia ini untuk
memberitakan Injil kepada bangsa-bangsa di bumi (bdk, Mat, 28:16). Melalui
kasih-Nya, Yesus Kristus menarik kepada diri-Nya orang-orang dari segala keturunan:
dalam setiap jaman Dia menghimpun Gereja sambil mempercayakan kepada Gereja
itu pewartaan Injil dengan perintah-Nya yang senantiasa baru. Pada jaman
sekarangpun dirasa adanya kebutuhan akan komitmen Gereja yang lebih kuat bagi
suatu evangelisasi baru, agar supaya orang menemukan kembali kegembiraan
dalam percaya dan kegairahan dalam mengkomunikasikan iman itu, Dalam
menemukan kembali kasih-Nya itu dari hari ke hari, kesiap-sediaan untuk
diutus dari orang beriman ini mendapatkan kekuatan dan kegairahan yang tak
akan pernah bisa pudar. Iman itu
bertumbuh apabila ia dihidupi sebagai pengalaman kasih yang sudah diterima,
juga bila ia dikomunikasikan sebagai suatu pengalamann rakhmat dan
kebahagiaan. Iman itu membuat kita berbuah subur, sebab dia memperluas hati
kita dalam harapan dan memampukan kita untuk memberi kesaksian yang juga
menghidupkan: memang, iman itu membuka hati dan budi siapa saja yang
mendengar dan menjawab undangan Tuhan untuk tetap setia kepada sabda-Nya dan
menjadi murid-Nya. Orang yang percaya, demikian Santo Agustinus
mengatakannya, “menguatkan dirinya sendiri dengan kepercayaannya itu”[12].
Santo Uskup dari Hippo itu memiliki alasan yang sungguh tepat untuk
mengungkapkan dirinya seperti itu, karena sebagaimana kita tahu, hidupnya
merupakan suatu pencarian terus-menerus akan keindahan iman-kepercayaan itu
sampai saat ketika hatinya menemukan istirahat dalam Allah[13].
Karya tulisnya yang sangat ekstensif, di mana Agustinus memberi penjelasan
tentang pentingnya percaya dan dan tentang kebenaran iman, sampai sekarang
tetap merupakan warisan dengan kekayaan yang tiada taranya, dan tetap menjadi
sarana bantu bagi banyak orang yang mencari Allah untuk menemukan jalan yang
benar menuju “pintu kepada iman”.
Karena itu, hanya melalui percaya,
iman dapat bertumbuh dan menjadi kuat; tidak ada kemungkinan lain untuk
mendapatkan kepastian yang berkaitan dengan kehidupan seseorang, selain dari
pada meninggalkan diri sendiri dalam suatu crescendo yang terus-menerus, masuk ke dalam tangan-tangan kasih
yang sepertinya terus bertumbuh tanpa henti karena memang bersal dari Allah.
8. Pada kesempatan
yang membahagiakan ini, saya ingin mengundang saudara-saudara saya para Uskup
dari se antero dunia untuk bergabung bersma dengan Pengganti Petrus selama
masa yang penuh dengan rakhmat spiritual yang dianguerahkan Tuhan kepada kita
ini, untuk mengingat anugerah iman yang sangat berharga itu. Kita hendak
merayakan Tahun itu secara pantas dan menghasilkan buah. Renungan-renungan
tentang iman hendaknya diintensifkan, untuk membantu segenap umat yang
beriman kepada Kristus untuk mendapatkan kesadaran yang lebih baik dan secara
lebih bersemangat melekatkan diri kepada Kabar Gembira, khususnya ketika
sedang terjadi perubahan mendalam seperti yang sedang dialami oleh umat manusia
pada saat ini. Kita akan mendapat kesempatan untuk mengakui iman-kepercayaan
kita akan Tuhan yang bangkit di gereja-gereja katedral kita dan di dalam
gereja-gereja di seluruh dunia; juga di rumah-rumah kita dan di antara kaum
keluarga kita, sehingga setiap orang akan merasakan betapa perlunya pemahaman
yang lebih baik dan kemudian untuk meneruskannya kepada generasi yang akan
datang iman-kepercayaan segala jaman tersebut. Komunitas-komunitas biara
seperti juga komunitas-komunitas paroki, dan semua lembaga-lembaga gerejawi,
baik yang lama maupun yang baru, semuanya harus menemukan cara untuk,
sepanjang Tahun itu, mengakui secara publik Credo kita.
9. Pada tahun ini kita hendak
membangkitkan dalam diri setiap orang beriman aspirasi untuk mengakui iman-keprcayaannya dalam
kepenuhannya dan dengan keyakinan yang baru, juga dengan penuh kepercayaan
dan harapan. Tahun itu akan menjadi juga sebah kesempatan yang bagus untuk
mengintensifkan perayaan iman itu
di dalam liturgi, teristimewa di dalam perayaan Ekaristi, yang adalah “puncak
ke mana seluruh kegiatan Gereja diarahkan … tetapi juga adalah sumber dari
mana seluruh kekuatan Gereja itu mengalir”[14].
Pada saat yang sama, kita berdoa juga agar kesaksian hidup umat beriman semakin dapat dipercaya. Untuk
menemukan kembali isi iman yang diakui, dirayakan, dihayati dan didoakan[15],
dan untuk merenungkan kembali kegiatan iman itu adalah tugas yang setiap umat
beriman harus menjadikannya tugasnya sendiri, khususnya selama Tahun Iman
ini.
Bukan tanpa alasan umat Kristiani
pada abad-abad pertama dituntut untuk menghafalkan pengkuan
iman-kepercayaannya itu. Bagi mereka hal itu lalu berfungsi sebagai doa
mereka setiap hari, agar mereka tidak melupakan komitmen yang telah mereka
ikrarkan ketika mereka dibaptis. Dengan kata-kata yang sarat dengan makna,
Santo Agustinus berbicara tentang hal ini dalam homili beliau tentang redditio symboli, tentang
“penyerah-alihan pengakuan iman”, katanya: “Pengakuan iman dari
misteri-misteri kudus yang telah kalian terima secara serentak dan yang pada
hari ini telah kalian ucapkan kembali satu demi satu itu, adalah kata-kata di
atas mana iman-kepercayaan Bunda Gereja didirikan dengan kokoh, pada landasan
yang menetap, yang adalah Kristus, Tuhan sendiri. Kalian telah menerimanya,
namun alian harus tetap memeliharanya di dalam akal-budi dan hati-sanubari
kalian, kalian harus tetap mengulang-ulangnya di ranjang tempat tidur kalian,
tetap mengingat-inganya di pasar-pasar, tidak melupakannya sementara kalian
makan-makan, bahkan ketika kalian sedang tidurpun, kalian harus tetap
memperhatikannya dengan hati kalian”[16].
10. Di sini saya ingin memberikan
suatu garis besar dari sebuah sarana yang dimaksudkan untuk membantu kita
memahami secara lebih mendalam, bukan saja isi muatan iman-kepercayaan itu,
melainkan juga tindakan yang akan kita pilih untuk mempercayakan diri kita
sepenuhnya kepada Allah dengan cara yang sebebas-bebasnya. Pada kenyataannya
memang ada kesatuan yang mendalam antara tindakan dengan mana kita beriman
dan muatan isi, kepadanya kita memberikan kesepakatan kita. Santo Paulus
membantu kita memasuki kenyataan ini ketika dia menulis: “Dengan hati orang
percaya dan dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan”
(Rom. 10:10). Hati itulah yang menunjukkan bahwa tindakan pertama yang membawa
seorang percaya adalah anugerah dari Allah dan tindakan rakhmat yang bergiat
dan mengubah seseorang dari dalam.
Dalam kaitan ini secara khusus
contoh dari Lydia menjadi sangat berarti. Santo Lukas menceriterakan, bahwa
ketika berada di Filipi, pada suatu hari Sabbat, Paulus memberitakan Injil
kepada beberapa wanita, di antaranya adalah Lydia dan “Tuhan membuka hatinya,
sehingga ia memperhatikan apa yang dikatakan oleh Paulus” (Kis. 16:14). Di
dalam ungkapan itu terkandunglah suatu makna yang penting. Santo Lukas
mengajarkan, bahwa memahami muatan isi dari yang harus diimani tdaklah
mencukupi, apabila hati, yakni tempat kudus yang khas dalam diri seseorang,
tidak turut dibuka oleh rakhmat yang membuat mata bisa melihta apa yang ada
di bawah permukaan dan mamahami, bahwa yang sedang diberitakan itu adalah
Sabda Allah sendiri.
“Pengakuan dengan bibir” itu pada
gilirannya menunjukkan, bahwa “beriman” itu mengandung juga pengertian
“kesaksian secara publik” serta sebuah komitmen. Seorang Kristiani tidak pernah
boleh berpikir bahwa beriman itu adalah urusan pribadi saja. Beriman berarti
memilih untuk memihak kepada Allah dan dengan demikian berada dengan Dia
juga. “Memihak kepada Dia” ini ke depan menunjuk kepada pemahaman akan
alasan-alasan mengapa dia menjadi percaya. Iman-kepercayaan, justru karena
dia adalah suatu tindakan yang bebas, juga menuntut pertanggungjawaban social
aats apa yang diimaninya. Pada hari Pentakosta Gereja menunjukkan dengan
sejelas-jelasnya dimensi publik dari keberimanan ini dan memberitakan dengan
tanpa takut iman-keprcayaan seseorang kepada setiap orang. Anugerah Roh
Kuduslah yang telah membuat kita siap untuk diutus dan menguatkan kesaksian
kita serta menjadikannya terus-terang dan berani.
Pengakuan iman adalah suatu
tindakan yang sekaligus bersifat perseorangan sendiri-sendiri, tetapi juga
secara berkomunitas bersama-sama. Gerejalah yang sebenarnya pertama-tama
menjadi subjek iman-kepercayaan. Di dalam iman-kepercayaan dari komunitas
kristiani, setiap pribadi individual menerima baptisan, suatu tanda yang
effektif masuknya ke dalam kalangan umat beriman untuk memperoleh
keselamatan. Dalam buku Katekismus
Gereja Katolik, kita membaca: "Aku percaya", itulah iman Gereja, sebagaimana
setiap orang beriman mengakui secara pribadi, terutama pada waktu
Pembaptisan. "Kami percaya"
itulah iman Gereja, sebagaimana para Uskup yang berkumpul dalam
konsili itu mengakui, atau lebih umum, sebagaimana umat beriman mengakui
dalam liturgi. "Aku percaya": demikianlah juga Gereja, ibu kita
berbicara, yang menjawab Allah melalui imannya dan yang mengajar kita
berkata: "aku percaya", "kami percaya"[17].
Jelas sekali, bahwa pengetahuan
akan isi iman-kepercayaan adalah hakiki bagi seseorang untuk dapat memberikan
persetujuannya, artinya untuk mengikatkan diri sepenuhnya, dengan segenap
akal-budi dan kehendaknya, kepada apa yang ditawarkan oleh Gereja.
Pengetahuan akan iman-keprcayaan ini membuka pintu masuk ke dalam kepenuhan
misteri karya penyelamtan yang diwahyukan oleh Allah. Persetujuan yang kita
berikan itu berarti pula, bahwa ketika kita percaya, kita menerima dengan
bebas seluruh misteri iman-kepercayaan, sebab penjamin dari kebenarannya
adalah Allah sendiri, yang mewahyukan dirinya sendiri dan mengijinkan kita
mengetahui misteri cinta-kasih-Nya [18].
Di pihak lain, kita tidak boleh
melupakan, bahwa di dalam konteks budaya kita, ada banyak bangsa, yang
meskipun tidak meng-claim memiliki
anugerah iman itu, namun secara tulus mereka mencari arti makna yang
tertinggi dan kebenaran yang pasti dari hidup dan dunia mereka. Pencarian ini
merupakan “pendahuluan” yang otentik kepada iman-kepercayaan, justru karean
ia menuntun orang pada jalan yang membawanya ke misteri Allah. Sebenarnya
akal-budi manusia mengandung di dalam dirinya tuntutan pada “apa yang
selamanya sahih dan langgeng”[19].
Tuntutan ini mengandung suatu panggilan yang menetap, karena terpatri secara
tak-terhapuskan di dalam hati manusia, yang membuatnya bergerak mencari Dia
yang kita tidak akan mencarinya seandainya Dia sudah tidak lebih dahulu
bergerak untuk mendapatkan kita[20].
Pada perjumpaan inilah iman-kepercayaan mengundang kita dan membuka diri kita
sepenuh-penuhnya.
11. Untuk sampai
pada pemahaman yang sistematik pada isi iman-kepercayaan itu, semua orang
dapat menemukannya di dalam buku Katekismus
Gereja Katolik, suatu sarana-bantu yang sangat berharga dan
taktergantikan. Dokumen itu dalah satu dari buah-buah terpenting Konsili Vatikan Kedua. Dalam
Konstitusi Apostolik Fidei Drpositum, yang
ditandatangani, bukan hanya karena kebetulan, pada Hari Ulang Tahun yang ke
tiga-puluh Pembukaan Konsili Vatikan Kedua. Beato Yohanes Paulus II menulis:
”Katekismus ini akan menjadi suatu kontribusi yang sangat penting bagi karya
pembaruan seluruh kehidupan Gereja … Maka saya menyatakan katekismus itu
menjadi suatu sarana-bantu yang sah dan legitim bagi persekutuan gerejawi dan
menjadi norma yang pasti bagi pengajaran iman”[21].
Dalam arti inilah
bahwa Tahun Iman itu harus mengupayakan suatu usaha terpadu untuk menemukan
kembali dan untuk mempelajari isi muatan fundamental dair iman-kepercayaan
yang sekarang disintesekan secara sistematis dan secara organis di dalam Katekismus Gereja Katolik. Di sinilah,
sebenarnya, kita melihat kekayaan ajaran yang telah diterima oleh Gereja,
dijaga dan diwartakan sepanjang dua ribu tahun sejarah keberadaannya. Dari
Kitab Suci, sampai ke Para Bapa-bapa Gereja, dari para pakar teologi sampai
ke para kudus sepanjang segala abad, Katekismus
ini memberikan rekaman yang menetap dari banyak cara yang dipergunakan Gereja
untuk merenungkan iman itu dan berkembang maju dalam ajaran, dan dengan
demikian memberi kepastian bagi para beriman dalam kehidupan beriman mereka.
Dalam strukturnya
yang seperti itu Katekismus Gereja
Katolik ini mengikuti perkembangan iman-kepercayaan langsung kepada
tema-tema besar dalam kehidupan sehari-hari. Di setiap halaman demi halaman,
kita temukan, bahwa apa yang disajikan di sini bukanlah teori belaka, akan
tetapi sungguh suatu perjumpaan dengan Seorang Pribadi yang hidup di dalam
Gereja. Pengakuan iman diikuti oleh penerimaan kehidupan sakramental di mana
Kristus hadir, bergiat dan melanjutkan karya-Nya membangun Gereja. Tanpa
liturgi dan sakramen-sakramen, pengakuan itu akan kehilangan efikasitasnya,
sebab dia akan kehilangan rakhmat yang mendukung kesaksiannya secara Krisriani.
Melalui kriterium yang sama, ajaran dari Katekismus
ini tentang kehidupan moral mendapatkan artinya yang penuh, apabila memang
ditempatkan dalam keterikatannya dengan iman-kepercayaan, liturgi dan doa.
12. Maka dari itu
dalam Tahun Iman itu nanti, Katekismus
Gereja Katolik itu akan dipergunakan sebagai sarana bantu untuk
memberikan dukungan yang nyata bagi iman-kepercayaan, terutama bagi mereka
yang terkait dengan pembinaan umat kristiani, yang berada dalam saat sangat
krusial dalam konteks budaya kita. Untuk maksud itu saya telah mengundang Kongregasi Untuk Ajaran Iman, dalam
kesepakatan dengan Dikasteri-dikasteri Takhta Suci yang kompeten, untuk
mempersiapkan sebuah Nota, yang
akan memberikan arahan-arahan kepada umat beriman Gereja dan perseorangan
tentang bagaimana harus menghayati Tahun Iman itu secara yang se-efektif dan
se-tepat mungkin bagi kepentingan iman-kepercayaan dan pewartaan.
Dalam skala yang
lebih besar dari pada di masa lampau, sekarang ini iman dihantam dengan
serangkaian pertanyaan yang muncul dari suatu sikap dasar yang sudah berubah,
yang, khususnya dewasa ini, bidang kepastian-kepastian rasional diberi
pembatasan-pembatasan terhadap penemuan-penemuan ilmiah dan teknologi. Namun
demikian, Gereja tidak pernah merasa takut untuk tetap menunjukkan, bahwa
tidak mugkin ada pertentangan antara iman dan ilmu yang sejati, sebab
keduanya, kendatipun jalur yang ditempuh berbeda, mengarah menuju kepada
kebenaran[22].
13. Satu hal yang
akan sangat menentukan dalam tahun Iman itu adalah, bila kita menelusuri
sejarah iman kita yang sebenarnya ditandai dengan misteri yang takterkatakan
dari keterjalinan antara kesucian dan dosa. Sementara yang pertama menyoroti
kontribusi besar yang diprestasikan oleh laki-laki atau perempuan bagi
pertumbuhan dan perkembangan persekutuan melalui kesaksian hidup mereka, yang
kedua harus menantang dari setiap orang
suatu kerja yang tulus dan berlanjut dari pertobatan untuk mengalami
belas-kasih Bapa, yang dtawarkan kepada semua orang,
Selama waktu itu
kita akan harus tetap memandang Yesus Kristus, “yang memimpin kita dalam
iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:2): di
dalam Dia, semua kekhawatiran dan semua kerinduan hati manusia mendapatkan
pemenuhannya. Sukacita dari kasih, jawaban atas drama penderitaan dan
kesakitan, kekuatan dari pengampunan di hadapan sebuah penghinaan yang
diterima dan kemenangan hidup atas kehampaan kematian: semuanya itu
mendapatkan kepenuhannya di dalam misteri inkarnasi-Nya, ketika Dia menjadi
manusia, ketika Dia mengambil-bagian di dalam kelemahan manusiawi kita,
sehingga semuanya itu ditransformasikan-Nya melalui kekuatan dari
kebangkitan-Nya. Di dalam Dia yang telah mati lalu bangkit kembali demi
keselamatan kita itu, contoh teladan iman-kepercayaan yang telah menandai dua
ribu tahun sejarah keselamatan kita ini mendapatkan pencerahan yang
sepenuh-penuhnya.
Dengan iman, Maria
menerima kata-kata Malaekat dan percaya kepada pesan bahwa dia akan menjadi
Bunda Allah dalam ketaatan dari kesalehannya (bdk. Luk. 1:38). Ketika
mengunjungi Elizabet, dia melambungkan madah pujiannya kepada Yang Mahatinggi
karena karya ajaib yang telah dikerjakan-Nya di dalam diri mereka yang
menaruh kepercayaan kepada-Nya (bdk. Luk. 1:46-55), Dengan sukacita dan
kegentaran dai melahirkan anaknya yang tunggal, dengan keperawanannya yang
tetap tak ternoda (bdk. Luk.2:6-7). Sambil tetap mempercayai Yusuf, suaminya,
ia membawa Yesus ke Mesir untuk menyelamatkan-Nya dari pengejaran Herodes
(bdk. Mat, 2:15-17). Dengan kepercayaan yang sama, ia mengikuti Tuhan dalam
pewartaan-Nya dan tetap menyertai-Nya sampai ke Golgota (bdk. Yoh. 19:25-27).
Dengan iman-kepercayaannya, Maria mengecap buah-buah kebangkitan Yesus dan
sambil tetap menyimpan setiap kenangan di dalam hatinya (bdk. Luk. 2:19,51).
Ia menyerah-alihkan itu kepada Keduabelas Rasul yang berkumpul di ruang atas
untuk menerima Roh Kudus (bdk. Kis, 114-2:1-4).
Dengan iman, para
rasul telah meninggalkan semuanya dan mengikuti Tuhan mereka (bdk. Mat.
10:28). Mereka percaya kepada kata-kata yang diwartakan-Nya tentang Kerajaan
Allah yang telah datang dan dipenuhi di dalam diri-Nya (bdk. Luk. 11:20).
Mereka hidup dalam persekutuan dengan Yesus yang membina mereka dengan
ajaran-Nya, dengan mewariskan kepada mereka suatu peraturan hidup, dengan
mana mereka akan dikenal sebagai murid-murid-Nya setelah kematian-Nya (bdk.
Yoh. 13:34-35). Dengan iman, mereka pergi ke seluruh dunia, mengikuti
perintah-Nya untuk mewartakan Kabar Gembira ke pada semua ciptaan (bdk. Mrk.
16:15) dan dengan tanpa takut mereka mewartakan kepada semua orang sukacita
kebangkitan, tentangnya mereka adalah saksi-saksinya yang setia.
Dengan iman, para
murid membentuk komunitas yang pertama, yang dihimpun di sekeliling ajaran
para rasul, di dalam doa, di dalam perayaan Ekaristi, sambil mempertahankan
kepunyaan mereka sebagai milik bersama dan dengan demikian mereka memenuhi
kebutuhan saudara-saudara (bdk. Kis. 2:42-47).
Dengan iman, para
martir menyerahkan hidup mereka, sambil memberi kesaksian pada kebenaran
Injil yang telah mengubah hidup mereka dan membuat mereka mampu mendapatkan
anugerah terbesar dari cinta-kasih: yakni pengampunan kepada para penganiaya
mereka.
Dengan iman, pria
dan wanita telah membaktikan hidup mereka di dalam Kristus, sambil
meninggalkan segala sesuatu, untuk dapat hidup dalam ketaatan, kemiskinan dan
kemurnian dalam kesederhanaan injili, sebagai tanda nyata dari penantian
mereka akan kedatangan Tuhan yang tidak akan tertunda. Dengan iman, tak
terbilang banyaknya orang kristiani telah memajukan tindakan bagi keadilan
sehingga dengan demikian mereka melaksanakan sabda Tuhan, yang datang untuk
mewartakan pembebasan dari semua penindasan dan mewartakan kedatangan suatu
tahun penuh kebaikan bagi semua orang (bdk. Luk. 4:18-19).
Dengan iman,
sepanjang abad-abad, pria dan wanita dari segala usia, yang namanya tercatat
di dalam Kitab Kehidupan (bdk. Why. 7:9; 13:8), telah mengakui keindahan hal
mengikuti Tuhan Yesus kemanapun mereka dipanggil untuk memberi kesaksian pada
kenyataan, bahwa mereka adalah orang-orang kristiani: di dalam keluarga, di
tempat kerja, dalam kehidupan publik, dalam menjalankan kharisma dan
pelayanan yang menjadi panggilan hdiup mereka.
Dengan iman, kita
juga hidup: sambil menghayati pengakuan kita kepada Tuhan Yesus, yang hadir
di dalam hidup kita dan sejarah kita.
14. Tahun Iman itu
juga akan menjadi stau kesempatan yang bagus untuk mengintensifkan kesaksian
amal-kasih, sebagaimana diingatkan oleh Santo Paulus kepada kita:
“Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan
yang paling besar di antaranya ialah kasih” (Kor. 13:13).
Dengan kata-kata
yang bahkan lebih kuat, –yang senantiasa telah menempatkan
orang Kristiani di bawah kewajiban,– Santo Jakobus mengatakan: “Apakah gunanya,
saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal
ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia? Jika
seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan
sehari-hari, dan seorang dari antara kamu berkata: "Selamat jalan, kenakanlah
kain panas dan makanlah sampai kenyang!", tetapi ia tidak memberikan
kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu? Demikian juga
halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu
pada hakekatnya adalah mati. Tetapi mungkin ada orang berkata: "Padamu
ada iman dan padaku ada perbuatan", aku akan menjawab dia:
"Tunjukkanlah kepadaku imanmu itu tanpa perbuatan, dan aku akan
menunjukkan kepadamu imanku dari perbuatan-perbuatanku." (Yak. 2:14-18).
Iman tanpa kasih
tidak akan menghasilkan buah, sedang kasih tanpa iman hanya akan merupakan
suatu perasaan yang senantiasa berada di bawah kuasa kebimbangan. Iman dan
kasih saling membutuhkan satu sama lain, sedemikian sehingga yang satu akan
membiarkan yang lain untuk tampil menurut jalurnya sendiri-sendiri. Memang,
banyak orang kristiani membaktikan hidupnya dengan kasih bagi mereka yang
tersendiri, yang termarginalkan atau yang terkucilkan, sebagiamana juga bagi
mereka yang pertama-tama menuntut perhatian kita dan yang paling penting bagi
kita untuk dibantu, sebab justru di dalam diri merekalah nampak cerminan wajah Kristus sendiri.
Melalui iman kita dapat mengenal wajah Tuhan yang bangkit di dalam diri
mereka yang meminta kasih kita. “Sesungguhnya, segala sesuatu yang kamu lakukan
untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah
melakukannya untuk Aku” (Mat. 25:40). Kata-kata ini haruslah menjadi
peringatan yang tidak boleh dilupakan dan harus menjadi undangan yang menetap
bagi kita untuk membalas kasih dengan mana Tuhan telah senantiasa
memperhatikan kita. Imanlah yang memampukan kita mengenal Kristus dan
kasih-Nyalah yang mendorong kita untuk membantu-Nya kapan saja Dia menjadi
sesama yang kita jumpai dalam perjalanan hidup kita. Dikuatkan oleh iman,
marilah kita memandang kepada komitmen kita di dunia ini sambiil menantikan
“surga baru dan dunia baru, di mana terdapat kebenaran” (2Ptr. 3:13; bdk.
Why. 21:1).
15. Ketika sampai
pada akhir hidupnya, Santo Paulus meminta Timotius muridnya untuk “mengejar
iman” (lih. 2Tim. 2:22) dengan kesetiaan yang sama seperti ketika ia masih
muda (bdk. 2Tim. 3:15). Kita mendengar undangan ini ditujukan juga kepada
masing-masing kita, supaya jangan ada di antara kita yang menjadi malas di
dalam iman. Iman yang menjadi pendamping seumur hidup inilah yang membuat
kita mampu untuk memahami, setiap kali secara baru, karya-karya ajaib
Tuhan bagi kita. Sambil senantiasa
peka terhadap tanda-tanda jaman yang terhimpun di dalam sejarah kita di masa
sekarang ini, iman itu membuat masing-masing kita sendiri menjadi tanda dari
kehadiran Tuhan yang bangkit di dunia kita ini. Apa yang secara khusus
dibutuhkan oleh dunia kita sekarang ini adalah kesaksian yang dapat dipercaya
dari orang-orang yang mendapatkan pencerahan di dalam budi dan hatinya oleh
sabda Tuhan dan kemudian mampu membuka hati dan budi bagi banyak orang lain
untuk merindukan Allah dan hidup yang sejati, hidup yang kekal abadi.
“Supaya firman
Tuhan beroleh kemajuan dan dimuliakan” (2Tes. 3:1): semoga Tahun Iman ini
membuat hubungan kita dengan Krsitus, Tuhan, semakin bertambah kuat, karena
hanya di dalam Dialah ada kepastian untuk memandang masa depan dan ada
jaminan dari kasih yang sejati dan lestari. Semoga kata-kata Santo Petrus ini
akan dapat memberikan seberkas pencahayaan yang terakhir atas iman ini:
“Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus
berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk
membuktikan kemurnian imanmu -- yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada
emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api -- sehingga kamu
memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus
menyatakan diri-Nya. Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu
mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak
melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak
terkatakan, karena kamu telah mencapai tujuan imanmu, yaitu keselamatan
jiwamu” (1Ptr. 1:6-9) Hidup umat kristiani mengenal baik pengalaman sukacita
maupun pengalaman penderitaan. Betapa banyak orang-orang kudus yang hidup di
dalam kesunyian. Betapa banyak umat beriman, juga sampai pada hari ini,
dicoai oleh berdiamnya Allah, sementara mereka lebih merindukan mendengar
suara-Nya yang menghibur. Percobaan-percobaan hidup, sementara mereka memang
membantu kita untuk memahami misteri salib dan turut mengambil-bagian dalam
penderitaan Kristus (bdk. Kol. 1:24), menjadi juga suatu pendahuluan kepada
sukacita dan harapan ke mana iman juga mengarahkan: “jika aku lemah, maka aku
kuat” (2Kor. 12:10). Kita percaya dengan kepastian yang kokoh bahwa Tuhan
Yesus telah mengalahkan kejahatan dan kematian. Dengan kepercyaan yang pasti
ini kita mempercayakan diri kita kepada-Nya: Dia, yang hadir di tengah-tengah
kita, mengalahkan kekuatan si jahat itu (bdk. Luk. 11:20) dan Gereja,
persekutan yang nampak dari belas-kasih-Nya, tinggal di dalam Dia sebagai
suatu tanda dari rekonsiliasi yang definitif dengan Bapa.
Marilah kita
mempercayakan saat rakhmat ini kepada Bunda Allah, yang diwartakan sebagai
yang “berbahagialah ia, yang telah percaya“ (Luk. 1:45)
Dikeluarkan di
Roma, dari Basilika Santo Petrus, pada tanggal 11 Oktober 2011, tahun
kepausan saya yang ke tujuh.
BENEDIKTUS XVI, PAUS
|
|
Catatan
Akhir
[1] Homili pada awal menjabat sebagai Uskup Roma dalam pelayanan sebagai pengganti Petrus (24 April
2005): AAS 97 (2005),
710.
[2] Lih.
Benedictus XVI, Homili dalam Misa “Terreiro
do Paço” di Lisabon, (11 Mai 2010); Insegnamenti VI: 1 (2010), 673.
[3] Lih. Joannes
Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum
(11 Oktober 1992): AAS 86
(1994), 113-118.
[4] Lih. Laporan terakhir Sinode Luar Biasa II
Para Uskup (7 Desember 1985), II, B, a, 4 dalam Enchiridion
Vaticanum, ix, n. 1797.
[5] Paus Paulus VI, Ekshortasi Apostolik Petrum et Paulum
Apostolos pada perayaan XIX abad kemartiran St. Petrus dan
Paulus (22 Februari 1967): AAS 59 (1967), 196.
[6]
Ibid., 198.
[7] Paus Paulus VI, Credo Umat Allah,
Homili dalam Misa pada perayaan XIX abad kemartiran St. Petrus dan Paulus
pada penutupan “Tahun Iman” (30 Juni 1968): AAS 60 (1968), 433-445.
[8] Paus Paulus VI, Audiensi
Umum (14 Juni 1967): Insegnamenti V (1967),
801.
[9] Paus Joannes Paulus II, Surat
Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari 2001), 57: AAS
93 (2001), 308
[10] Sambutan kepada Curia Romana, (22 Desember
2005): AAS 98 (2006), 52.
[11] Konsili Ekumenis Vatikan II,
Konstitusi Dogmatis tentang Gereja Lumen Gentium, 8. [12] De Utilitate Credendi,
I:2.
[13] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi
tentang Liturgi Suci Sacrosanctum Concilium, 10.
[14] Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi
tentang Liturgi Suci, Sacrosanctum Concilium, 10.
[15] Lih. Paus Yohannes Paulus II, Konstitusi
Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994),
116.
[16]
Sermo 215:1.
[17] Katekismus Gereja Katolik, 167 [18] Lih. Konsili Ekumenis Vatikan I, Konstitusi
Dogmatis tentang Iman Katolik, Dei Filius, Bab. III: DS
3008-3009: Konsili Ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu
Ilahi, Dei Verbum, 5.
[19] Paus Benediktus XVI, Sambutan
di Collège des Bernardins, Paris (12 September 2008): AAS100
(2008), 722.
[20] Lih. Santo Augustinus, Confessions,
XIII:1
[21] Paus Yoannes Paulus II, Konstitusi
Apostolik Fidei Depositum (11
Oktober 1992): AAS 86 (1994), 115 dan 117.
[22]
Lih. Paus Yoannes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14
September 1998), 34, 106: AAS 91 (1999), 31-32, 86-87.
|
[1] Homili pada awal menjabat
sebagai Uskup
Roma dalam pelayanan sebagai pengganti
Petrus (24 April 2005):AAS 97
(2005), 710.
[2]Lih. Benedictus XVI, Homili dalam Misa “Terreiro do
Paço” di Lisabon, (11 Mai 2010); Insegnamenti VI: 1 (2010), 673.
[3] Lih. Joannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11 Oktober 1992): AAS 86 (1994), 113-118.
[4] Lih. Laporan terakhir Sinode Luar Biasa II Para Uskup
(7 Desember 1985), II, B, a, 4 in Enchiridion Vaticanum, ix, n.
1797.
[5] Paulus VI, Ekshortasi Apostolik Petrum et
Paulum Apostolos pada perayaan XIX abad kemartiran St Petrus dan
Paulus (22 Februari 1967): AAS 59 (1967), 196.
[6] Ibid., 198.
[7] Paulus VI, Credo Umat Allah, Homilidalam Misa
pada perayaan XIX abad kemartiran St Petrus dan Paulus pada penutupan
“Tahun Iman” (30 Juni 1968): AAS60 (1968), 433-445.
[9] Joannes Paulus II, Surat Apostolik Novo Millennio Ineunte (6 Januari
2001), 57: AAS 93 (2001), 308
[10] Sambutan kepada Curia Romana, (22 Desember
2005): AAS 98 (2006), 52.
[15] Lih.. Joannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11
Oktober 1992): AAS 86 (1994), 116.
[18] Lih.Konsili ekumenis Vatikan I,
Konstitusi Dogmatis tentang Iman Katolik, Dei Filius, Bab. III: DS
3008-3009: Konsili ekumenis Vatikan II, Konstitusi Dogmatis tentang Wahyu Ilahi Dei Verbum,
5.
[19] Benediktus XVI, Sambutan di Collège des Bernardins, Paris
(12 September 2008): AAS100 (2008), 722.
[21] Joannes Paulus II, Konstitusi Apostolik Fidei Depositum (11
Oktober 1992): AAS 86 (1994), 115 dan 117.
[22] Lih.
Joannes Paulus II, Ensiklik Fides et Ratio (14
September 1998), 34, 106: AAS 91 (1999), 31-32, 86-87.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar